26 Agustus 2008

In Memorian: Bang Drago...

Pandanglah gambar laut ini, lalu simaklah puisi berikut... 


Tasik yang Tenang 

Memandangmu, 
terasa hati menjadi pilu, 
wahai tasik yang tenang 
Karena telah kau simpan 
lembar terakhirku bersamanya 
Di airmu yang biru kau apungkan kenangan itu 
Di tanjungmu kau ukir siluet wajahnya 
Setiap melihatmu, 
air sungai kecilku bergemericik mengalir 
Mengalirkan namanya bersama doa-doa: 
Allahumaghfirlahu warkhamhu waafihi wafuanhu..... 
(Untuk kakak yang pergi)

 
Oktober 2005 
Pada tanggal 30, Mas Heri berulang tahun ke-37. Ketika Malam tinggal sepertiga, Dia mendoakan saya lewat sms: 
Semoga selalu sehat, Dik; sukses dalam karier, dan sukses dalam keluarga. 

Lalu saya balas: 
Selamat berulang tahun, Mas; semoga Allah memberikan segala yang terbaik. 
Motto: Lebih baik gugur di medan perang daripada hidup terhina. 

Entah karena apa, malam itu aku tiba-tiba rindu padanya dan menangis bahkan tersedu-sedu. 


November 2005 
Kami bersaudara (kecuali Dik Agus yang tidak mendapatkan cuti dari Batalyon 733 Ambon) berkangen-kangenan di pantai Tanjung Kodok Lamongan. Ini inisiatif Mas Heri, kakakku yang berdinas di Detasemen Gegana Jakarta. Di ujung Lamongan itulah dia berpesan agar kami selalu menjadi saudara yang solid, menjunjung kehormatan keluarga, dan tidak mementingkan diri sendiri. Dia mengajak kami membuat foto keluarga sebagai kenang-kenangan, tetapi Mbak Dara tidak mau karena suatu hal. 

Esoknya, kami berpisah. Saya harus kembali ke Malang. Terakhir bersamanya ketika dia menyeberangkan saya di jalan Babat-Jombang yang padat lalu lintas. 

Desember 2005 
Mas Heri meninggal dunia karena sakit. Ternyata selama ini dia menderita sakit malaria. Sudah bertahun-tahun dia menderita, sejak menjalankan tugas di Aceh. Sebelum meninggal, dia diopname di RS Polisi Kramat Jati, Jakarta. Dia memaksa keluar dan pulang ke Lamongan. Dia meninggal di pangkuan ibu: damai, seperti ketika dia baru dilahirkan 37 tahun yang lalu. Mendengar kabar kepergiannya, aku tak bisa tidur, juga tak sabar menunggu waktu subuh untuk berangkat. Masih teringat saat itu langit pagi berwarna biru semburat awan jingga di ufuk timur. Sepanjang perjalanan ke Lamongan saya menangis. 

Setinggi bangau terbang, akhirnya ke pelimbahan juga. Lamongan telah menjadi istirahatnya, bersama ayahku yang telah lama menunggu. Sampai kini duka itu masih di hati kami, terutama ibu, karena sebagian besar ruang hati ibu diisi namanya, sejak kami kecil dahulu.
***