29 Agustus 2008

Adi Kili dan Burung Brenggi

Dongeng Masa Kecil


Dahulu, ketika masih kecil, saya sering tidur di rumah Budhe. Rumah beliau berada di depan rumah orang tua saya. Saya memanggil beliau ”De Neng”, nama yang pernah tertulis dalam lembar persembahan karya tulis saya, sebagai ”permata kehidupan yang mengalirkan doa-doa”. Beliau selalu mengisahklan dongeng sebelum saya tidur, dongeng yang sama setiap saya tidur bersamanya. Dan dongeng itu tak pernah lekang dalam ingatan saya sampai sekarang, walaupun saya telah meninggalkan beliau selama 30 tahun. Saya tulis dongeng ini sebagai pelampiasan rindu kepada orang yang selalu mengalirkan doa-doa. Beginilah kisah dalam dongeng itu...


Syahdan, pada zaman dahulu kala di tepi hutan, hiduplah dua orang yatim piatu kakak beradik yang tinggal di sebuah gubuk. Sang kakak bernama Mantri dan sang adik bernama Kili. Kili memanggil kakaknya dengan sebutan ”Kang Mantri”, sedangkan Mantri memanggil adiknya dengan sebutan ”Adi Kili”. Pada suatu hari mereka berdua sepakat untuk berpisah karena ingin memperbaiki nasib kehidupanya. Kang Mantri hendak pergi bekerja ke kota dan meninggalkan adiknya sendiri di gubuknya. Dalam hati sesungguhnya ia tidak tega meninggalkan Adi Kili, satu-satunya orang yang disayanginya di dunia ini. Tapi apa boleh buat, ia ingin membahagiakan adiknya dengan mencukupi kebutuhan hidup yang memadai. Oleh karena itu ia mempersiapkan sesuatu untuk membatasi waktu kepergiannya.


”Adi Kili, sebentar lagi Kang Mantri akan pergi. Terimalah biji belimbing manis ini. Jika Kang Mantri berangkat, tanamlah biji belimbing ini di depan gubuk kita. Kelak jika pohon belimbing telah berbuah, panggilah Kang Mantri. Beritahukan bahwa pohon belimbing manis telah berbuah. Kang Mantri pasti merasakan panggilanmu dan segera pulang”. ”Baiklah Kang mantri, Adi Kili akan menlaksanakan tugas ini”.


Maka berangkatlah Kang Mantri meninggalkan Adi Kili. Tanpa menoleh sekejap pun kepada adiknya ia berjalan lurus dengan mata yang tergenang. Sedangkan Adi Kili menatap kepergian kakaknya dengan mata bekerjap-kerjap dan mengalirlah air mata gadis itu. Bibirnya terkatup tanpa isakan. Setelah kakaknya hilang dalam pandangan, Adi Kili menanam biji belimbing manis yang sejak tadi dalam genggamannya.


”Biji belimbing, aku tanam kau dengan cinta dan harapan, tumbuhlah! Kang Mantri akan datang jika kau tumbuh dan berbuah”. Sambil tersimpuh di tanah, air mata Adi Kili menyiram biji belimbing yang ditanamnya.
Setiap saat, tidak pandang pagi, siang, atau sore Adi Kili memeriksa tanaman belimbing manisnya. Dan biji belimbing itu tumbuh menjadi pohon yang subur. Begitulah kecintaan Adi Kili terhadap kakaknya ditumpahkannya kepada pohon belimbing manis agar senantiasa tumbuh subur dan berbuah.


Bulan berganti bulan, tahun pun berganti entah telah berapa kali. Dan telah sampailah pada waktunya pohon belimbing berbunga. Adi Kili sangatlah girang hatinya, dengan sabar ia menunggu bunga-bunga itu menjadi buah karena dengan demikian ia akan bertemu dengan Kang Mantri, kakaknya yang dinanti-nantikannya. Dalam hitungan hari bunga-bunga belimbing itu luruh dan muncullah buah belimbing yang mungil. Mata Adi Kili berbinar-binar, senyumnya mengembang. Maka ketika buah itu telah membesar, Adi Kili memanggil kakaknya dalam nyanyian...


” Kang Mantriii..., pohon belimbing manis telah berbuah... Kang Mantri...
Kang Mantriii..., pohon belimbing manis telah berbuah...Kang Mantri...”
Begitulah suara Adi Kili terus menerus dalam nyanyiannya. Apabila merasa capai, ia pun berhenti dan memanggil lagi sampai sayup-sayup suaranya dibawa angin.


Alkisah, ada seekor burung raksasa yang selalu berbunyi ”brenggiii....” dan oleh karena suaranya yang seperti itu maka orang menyebutnya burung brenggi.Burung brenggi merasa terganggu oleh suara Adi Kili. Ia mencari sumber suara dengan amarah yang membuncah di kepalanya. Sementara Adi Kili tetap dalam lantunannya. Akhirnya...


”Bag, kabag, kabag...” Burung itu mengepakkan sayapnya yang besar dan berbunyi ”Brenggiiii....Ooo..., ternyata kau Adi Kili! Kau telah mengganggu tidurku. Kau merusak ketenangan hutanku. Diamlah...!!! Atau aku akan membuatmu diam!!!” Mendengar ancaman burung brenggi, Adi Kili semakin keras memanggil kakaknya.


”Kang Mantriiiii..... Pohon belimbing manis telah berbuah ... Kang Mantri...
Kang Mantriiiii..... Pohon belimbing manis telah berbuah ... Kang Mantri...
Mendengar itu, burung brenggi semakin marah dan akan mematuk Adi Kili.
”Diamlah, Adi Kili!!! Kalau tidak mau diam, aku patuk ubun-ubunmu!!!”


Adi Kili dengan tubuh gemetar tetap memanggil kakaknya, bahkan semakin cepat dan keras. Maka....
”Bag, kabag, kabag..... brenggiii... Kau memang ingin mati, Adi Kili... Kau tidak takut kepadaku, kau tidak menurut perintahku, Suaramu memecahkan kepalaku...” Selesai berkata seperti itu mengayunlah paruh burung raksasa itu ke arah Adi Kili, dan... brussss..... Paruh burung brenggi menancap di ubun-ubun Adi Kili. Seketika itu Adi Kili lunglai dan terkapar di depan gubugnya. Adi Kili mati.


Sementara itu di kota tempatnya bekerja Kang Mantri merasakan panggilan adiknya. Lalu ia bersiap pulang dengan bermacam-macam barang bawaan untuk keperluan hidupnya bersama Adi Kili yang sangat dirindukannya.


Dengan memberikan beberapa keping uang kepada sais, ia mendapat tumpangan cikar bermuatan genting yang melewati hutan tempat gubugnya berada. Berhari-hari ia dalam perjalanan pulang. Apabila matahari tenggelam mereka berhenti dan menginap di atas cikar. Sampai kemudian Kang Mantri tiba di tepi hutan, kampung halamannya. Masih sepuluh depa jarak ke gubugnya, ia sudah berteriak memanggil adiknya.

”Adi Kiliii............... Kang Mantri dataaang.......!
Adi Kiliii............... Kang Mantri dataaang.......!
Begitu terus menerus sampai Kang Mantri tiba di depan gubugnya. Dengan kerinduan yang tidak alang kepalang, Kang Mantri terus memanggil adiknya. Namun sambutan sang adik belum juga tampak. Kang Mantri mulai cemas, apa gerangan yang telah dialami adiknya. Setelah menurunkan barang bawaannya, Kang Mantri langsung menyerbu ke dalam gubug. Dan...


”Adi Kiliiiiiiiii..............................! Demikian histerisnya Kang Mantri menangis pilu melihat kerangka tergeletak di lantai tanah dalam gubugnya. Ia yakin kerangka itu adalah Adi Kili. Segera ia mengambur ke dalam hutan. Sebelum matahari tenggelam ia harus menemukan daun demolo dan daun kastubo. Setelah mendapat apa yang dicarinya, Kang Mantri berlari pulang tanpa peduli letih. Sesampai di gubugnya, ia alasi mayat Adi Kili dengan daun demolo dan ia kipasi dengan daun kastubo. Dengan menyebut nama Allah swt, dikipas-kipaskanlah daun kastubo itu.
“Pit ipit ipit...”Bunyi kipas daun kastubo yang diayun Kang Mantri berbunyi. Dan atas kehendak Allah swt. semata bahwa kerangka Adi Kili menyatu.
“Pit ipit ipit....” maka tumbuhlah daging dan kulit yang membungkus kerangka Adi Kili.
”Pit ipit ipit....” Bergerak-geraklah tubuh adi Kili.
“Pit ipit ipit.....” Berkatalah Adi Kili tentang kejadian yang dialaminya.


Kemudian Kang Mantri menyuruh Adi Kili memanggil namanya kembali agar burung brenggi datang kepadanya.
” Kang Mantriii..., pohon belimbing manis telah berbuah... Kang Mantri...
Kang Mantriii..., pohon belimbing manis telah berbuah...Kang Mantri...”
Sebentar kemudian terdengarlah....
”Bag, kabag, kabag..... brenggiii...
Bag, kabag, kabag..... brenggiii..., Adi Kili..!!! Bagaimana kau bisa selamat dari patukanku? Sekarang inilah waktumu untuk mati!


”Bag, kabag, kabag..... brenggiii...” Baru selesai kepakan sayap ketiga, Kang mantri yang bersembunyi di balik pintu mengayunkan pedang yang baru diasahnya.
”Cresss....!!!” Putuslah leher burung brenggi yang panjang seperti angsa itu bergedebug jatuh ke tanah. Burung brenggi mati dan Adi kili bersama Kang Mantri hidup berbahagia.
***