21 Juli 2009

Analisis Struktur Novel "Pagar Kawat Berduri" Karya Trisnoyuwono

I. PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Karya sastra adalah hasil seni kreatif yang membicarakan manusia dan kehidupan dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Wellek dan Waren (1990:3) yang mengatakan bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif karya seni. Sebagai karya seni kreatif yang membicarakan manusia dengan segala kehidupannya, karya sastra tidak hanya sebagai media untuk mengungkapkan gagasan tetapi juga menampungnya dengan memberikan kreasi keindahan. Dengan demikian, dalam penciptaan karya sastra, seorang pengarang dituntut untuk memiliki kepekaan dalam mengamati segi-segi kehidupan untuk direfleksikan dalam bentuk karya sastra sebagai kreasi seni. Bahan-bahan dari kehidupan diseleksi dan disusun sesuai dengan ciri individu pengarang masing-masing.

Karya sastra terbentuk oleh unsur-unsur yang saling berjalinan menyusun satu kesatuan. Seperti yang dikatakan Teew(1988:23), bahwa struktur karya sastra adalah bangun keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang masing-masing saling berjalinan. Ada dua hal pokok dalam memahami karya sastra, yaitu (1) kerangka sejarah sastra, dan(2) kerangka sosial budaya yang mengitari karya sastra tersebut.

Novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono merupakan refleksi sejarah yang digali dari pengalaman pribadi pengarangnya sebagai seorang tentara pada zaman revolusi. Novel tersebut menggambarkan kehidupan sosial yang serba tertekan pada masa perang yang dialami tokoh atau wira bermasalah. Seperti yang diungkapkan oleh Trisnoyuwono (dalam Esten, 1983:80) sebagai berikut:
"Selama ini aku menulis lebih banyak berdasarkan pengalaman-pengalamanku, tentunya karena aku belum mampu mempertanggungjawakan hal-hal di luar pengalamanku. Tapi bukan berarti bahwa yang kuceritakan itu semacam kisah nyata. Kuambil bagian-bagian pengalamanku itu, kuaduk dengan khayal, kureka-reka, kupikirkan dan kurasakan,sehingga menjadi suatu kebulatan menurut ukuranku."

Pengakuan Trisnoyuwono tersebut sama dengan penilaian Ajip Rosidi (1986:27) yang mengatakan bahwa Trisnoyuwono menjadi terkenal oleh karya-karyanya yang melukiskan kehidupan tentara dan keadaan pada pada waktu revolusi. Kisah-kisahnya digali dari pengalaman hidupnya yang dialami dengan tubuh dan jiwanya.Melihat karya sastra daari berbagai dimensi memang sulit, tetapi dapat digali dari dimensi historis, sosial, dan budaya dalam kaitannya dengan dunia pengarang pada saat mencipta atau sebelum mencipta karya sastra. Sehingga karya sastra dapat dikaji dengan bantuan unsur-unsur di luar karya sastra tersebut. Dalam kaitannya dengan analisis karya sastra, cara semacam itu menurut penulis merupakan langkah maju karena karya satra telah diakui sebagai totalitas yang saling berkorelasi antara unsur intrinsin dan unsur ekstrinsiknya.

1.2. Rumusan Masalah

Masalah kajian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.
1) Bagaimana alur novel Pagar Kawat Berduri?
2) Bagaimana keterkaitan antara alur dengan penokohan dalam novel Pagar Kawat Berduri?
3) Bagaimana keterkaitan antara alur dengan setting dalam novel Pagar Kawat Berduri?
4) Bagaimana keterkaitan antara alur dengan tema dalam novel Pagar Kawat Berduri?
5) Bagaimana keterkaitan antara alur dengan novel Pagar Kawat Berduri dengan latar belakang
    budaya Trisnoyuwono?

1.3 Tujuan

Bertolak dari rumusan masalah, tujuan kajian terurai sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan alur novel Pagar Kawat Berduri.
2) Mendeskripsikan keterkaitan antara alur dengan penokohan dalam novel Pagar Kawat
    Berduri.
3) Mendeskripsikan keterkaitan antara alur dengan setting novel Pagar Kawat Berdur.
4) Mendeskripsikan keterkaitan antara alur dengan tema novel Pagar Kawat Berduri.
5) Mendeskripsikan keterkaitan antara alur novel Pagar Kawat Berduri dengan latar belakang
    sosial budaya Trisnoyuwono.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat bagi Pengajaran Sastra

Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pelaksanaan proses belajar mengajar sastra, terutama bagi siswa SMA jurusan Bahasa. Dapat digunakan oleh guru sebagai salah satu media ajar Apresiasi Sastra Indonesia. Dan dapat digunakan oleh siswa sebagai referensi sehingga tidak terpaku pada apresiasi sastra yang terbatas pada aspek formal karya sastra. Siswa tidak hanya menganalisis karya sastra hanya pada unsur intrinsik saja, tetapi juga memperhatikan unsur ekstrinsiknya. Berkaitan dengan pengajaran apresiasi maupun kritik sastra, hasil kajian ini dapat membantu pengajar sastra dalam memberikan model kerja pendekatan struktural genetik.

1.4.2 Manfaat bagi Pembaca

Hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca secara umum untuk menambah wawasan kesusastraan Indonesia, terutama isi novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono berdasarkan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya.

1.4.3 Manfaat bagi Kritikus Sastra

Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi kritikus sastra, terutama mengenai interpretasi struktur novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono yang dikaji dalam keterkaitannya dengan biografi dan latar belakang sosial budaya pengarang. Sehingga dapat mengembangkan wawasannya dalam khasanah studi kritik sastra.

1.5 Penegasan Istilah

Guna memperjelas dan menghidari terjadinya kesalahan persepsi akibat pemakaian istilah-istilah, maka dalam kajian ini perlu adanya penegasan istilah sesuai dengan judul kajian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, istilah-istilah yang digunakan ditegaskan berdasarkan pengertian yang relevan sebagai berikut.

Analisis
1) Penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta
    hubungan antar bagian-bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti
    keseluruhan.
2) Penguraian karya sastra atas unsur-unsurnya untuk memahami pertalian antar unsur-unsur
    tersebut.

Unsur intrinsik
Unsur yang terkandung dalam karya sastra yang membangun keutuhan cerita, sepereti alur, penokohan, setting, dan tema.

Unsur ekstrinsik
Unsur yang berada diluar karya sastra dan turut mewarnai cerita, seperti biografi pengarang, keadaan zaman pada saat karya sastra diciptakan, sosial, budaya, dan politik.

Novel

Sebuah genre satra yang berbentuk prosa, memiliki unsur fiksional dalam struktur formal berupa teks, dan memiliki kesatuan yang dibentuk oleh jalinan antar unsur-unsurnya.

Pagar Kawat Berduri
Sebuah novel karya Trisnoyuwono yang diterbitkan oleh penerbit Djambatan di Jakarta tahun 1963.

Media pembelajaran
Perantara atau penghubung untuk mencapai tujuan dalam proses belajar mengajar.

Apresiasi sastra
Penilaian atau penghargaan terhadap karya sastra melalui proses membaca, memahami, dan
menganalisis.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Novel

Esten (1990:12) mengemukakan bahwa novel merupakan pengungkapan dri fragmen kehidupan manusia dalam jangka waktu lebih lama, dan didalamnya terjadi konflik-konflik yang menyebabkan perubahan jalan hidup (nasib) para pelakunya.Pengertian lain disampaikan oleh Tarigan (1986:164), bahwa novel adalah suatu eksplorasi atau kronik kehidupan dan penghidupan, merenungkan, dan melukiskan dalam bentuk tertentu, pengaruh, ikatan, hasil, kehancuran, atau tercapainya gerak gerik manusia.
 
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah bentuk prosa fiksi yang menceritakan suatu kejadian dalam rentangan waktu tertentu yang ditandai adanya perubahan nasib para tokoh yang mengemban peristiwa. Novel merupakan suatu kesatuan yang dibangun oleh bagian-bagian yang saling berjalinan sehingga membentuk keutuhan secara keseluruhan. 

Novel sebagai wujud karya sastra tidak bisa dilepaskan dari pengarangnya. Pengarang menciptakan novel membutuhkan proses sebelum sampai kepada pembaca. Proses tersebut disebut proses kreatif, yang berkaitan erat dengan imajinasi dan kepekaan pengarang.

Ada berbagai pendapat mengenai unsur-unsur yang membangun novel secara utuh sebagai teks naratif. Sudjiman (1988) menyatakan bahwa struktur naratif dalam karya sastra novel ialah tema dan amanat, alur cerita, latar cerita, dan tokoh cerita. Sedangkan Abdullah (1983) berpendapat bahwa teks naratif terdiri atas unsur susunan peristiwa, teknik pengembangan cerita, struktur ruang dan waktu, dan penokohan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur intrinsik yang dominan membangun karya novel adalah alur, penokohan, setting, dan tema. Mengingat tujuan kajian ini, maka unsur yang dibahas secara khusus adalah alur, sedangkan unsur penokohan dan setting dibahas dalam kaitannya dengan alur sebagai kesatuan pembentuk tema.

2.2 Alur

Alur cerita merupakan padanan plot. Aminuddin (1987) menyatakan bahwa alur merupakan rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga membentuk cerita yang dihadirkan oleh para pelakunya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alur merupakan tumpuan ide, tendens dan motif yang disalurkan dari peristiwa dan perwatakan dalam prosa fiksi. Alur memiliki struktur gerak dalam urutan peristiwa-peristiwanya sehingga membentuk tulang punggung cerita. Itulah sebabnya alur mengandung intelektual selain memori pengarang.
 
Jenis alur ada bermacam-macam, namun dalam kajian ini hanya dua jenis alur yang analisis. Berdasarkan urutan peristiwa, alur dibedakan atas alur linier dan alur flash back atau sorot balik. Berdasarkan tahapan-tahapan konflik, alur dibedakan atas alur datar dan alur menanjak.

Alur linier adalah alur yang susunan peristiwanya berurutan secara kronologis berdasarkan urutan waktu. Alur flash back atau sorot balik adalah alur yang peristiwa-peristiwanya dimulai dari masa kini ke masa lalu, atau perpaduan antara keduanya dengan dominasi peristiwa masa lalu. Alur datar adalah alur yang peristiwa-peristiwanya tidak sampai pada tahap klimaks. Sedangkan alur menanjak adalah alur yang peristiwa-peristiwanya sampai pada tahap klimaks.Tahapan-tahapan konflik dalam alur terdiri atas tahap paparan (perkenalan), rangsangan (munculnya pemicu konflik), gawatan (munculnya konflik), tikaian (konflik meningkat), rumitan (konflik semakin memanas), klimaks (konflik mencapai puncak), leraian (kadar konflik menurun), dan selesaian (penyelesaian cerita).

2.3 Penokohan
Menurut Aminuddin (1987), penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi. Penokohan yang paling sederhana adalah pemberian nama atau sebutan. Lebih lanjut penokohan dapat diidentifikasi dalam penggambaran fisik, jenis kelamin, umur, karakter, status sosial, dan lain-lain, yang dapat menghidupkan tokoh dalam cerita fiksi. Cerita-cerita yang memiliki tokoh seperti itu disebut cerita konvensional, sedangkan cerita yang tokoh-tokohnya menyimpang dari sifat manusia dalam kehidupan sehari-hari disebut cerita inkonvensional yang bersifat absurd.

Tokoh dalam cerita fiksi seperti halnya manusia dalam kehidupan sehari-hari yang memiliki karakter dan kebiasaan tertentu. Tokoh yang berkarakter baik disebut tokoh protagonis, sedangkan yang memiliki karakter buruk disebut tokoh antagonis. Tokoh yang memiliki peranan penting dalam cerita disebut tokoh utama, sedangkan yang perannya tidak terlalu penting disebut tokoh sampingan atau tokoh pembantu.

2.4 Setting
Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta mempunyai fungsi fisikal dan fungsi psikologis (Aminuddin, 1987:67). Menurut batasan tersebut, setting dibedakan menjadi setting tempat, setting waktu, dan setting suasana.
 
Keberadaan latar atau setting dalam suatu cerita sangat penting, hal itu tidak hanya dilihat dari fungsi tetapi juga dalam hubungannya dengan unsur intrinsik yang lain untuk membentuk sastu kesatuan mewujudkan tema cerita. Di mana, kapan, dan bagaimana tokoh berada dalam cerita, maka disitulah peran setting teridentifikasi. Selain memberi informasi tentang situasi ruang dan waktu, setting juga berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh dalam cerita.

2.5 Tema

Tema berasal dari bahasa Latin yang berarti ”tempat meletakkan sesuatu”. Selanjutnya dapat dirumuskan bahwa tema adalah gagasan atau ide dasar yang melandasai suatu karya sastra. Dari sudut pandang pengarang, tema merupakan sesuatu yang pertama diletakkan; sedangkan bagi pembaca, tema merupakan sesuatu yang terakhir didapatkan. Dalam proses membaca dan memahami sebuah karya sastra, pembaca dapat mengidentifikasi, alur, tokoh, dan settting, yang secara bersama-sama berjalinan mengantarkan pada perumusan tema.
 
Tidak ada prosa fiksi yang tidak menggunakan tema, karena tidak mungkin orang menulis sesuatu tidak tentang sesuatu. Pada dasarnya karya sastra mengatakan sesuatu, yaitu tentang hidup dan kehidupan.

2.6 Latar Belakang Sosial Budaya Pengarang

Pengarang merupakan orang pertama yang mempunyai keterikatan dengan hasil karyanya, seperti dikatakan Wellek dan Warren (1990:82), bahwa penyebab utama lahirnya karya sastra adalah penciptanya sendiri. Oleh karena itu agar dapat memahami karya sastra secara utuh diperlukan pengetahuan tentang latar belakang sosial budaya pengarang yang sedikit banyak memberi pengaruh terhadap karya sastra yang dihasilkan. Dengan pernyataan ini bukan berarti pembaca tidak dapat memahami sebuah karya sastra tanpa mengetahui latar belakang pengarang. Akan tetapi pemahaman tentang latar belakang pengarang dapat membantu pembaca untuk mengupas tuntas isi karya sastra, terutama karya-karya sastra yang tidak transparan dan multiinterpretasi. Sehingga pembaca dapat mengatasi kesulitan yang ditemui pada saat melakukan proses analisis. Oleh karena itu dalam konteks inilah biografi dan latar belakang pengarang bermanfaat bagi proses analisis karya sastra.
 
Berkaitan dengan sumber data dalam kajian ini, pengarang, Trisnoyuwono, dilahirkan dan dibesarkan di Jogjakarta, Jawa Tengah, 5 Desember 1926. Ia dan keluarganya menganut agama Islam. Tamat SMA pada tahun 1946. Ketika revolusi pecah, ia berumur 20 tahun dan mempunyai semangat yang kuat ikut berperang dan bergabung dengan tentara pelajar. Tahun 1947-1948 masuk korps mahasiswa di Magelang dan Jombang. Ia malang melintang dalam pertempuran di berbagai kota, dari Surabaya, Jombang, Magelang, Jogja, Semarang, Ambarawa, sampai Pasundan. Selain bertempur, ia juga mengadakan serangan gerilya, mencegat konvoi serdadu Belanda dengan berani. Pada Agresi Militer Belanda II tahun 1949, ia tertangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Ketika ia sakit dan dirawat di rumah sakit, ia bisa melarikan diri.

Trisnoyuwono menjalani hidupnya dengan penuh petualangan. Ketika penyerahan kedaulatan tahun 1950, ia hijrah ke Jakarta dan resmi menjadi TNI Divisi Siliwangi. Di tengah kesibukannya sebagai tentara, Trisnoyuwono mencoba untuk mengarang. Karena sering berkontemplasi untuk menghasilkan inspirasi tulisannya, ia dianggap gila dan dipecat dari kesatuannya. Sejak itu ia menjadi lebih giat menulis. Banyak karya yang telah dihasilkan, salah satunya adalah novel Pagar Kawat Berduri yang menjadi sumber data dalam kajian ini. Guna menghasilkan tulisan yang bermutu, Trisnoyuwono belajar dari hasil karya penulis besar dunia, seperti: Shakespiere, Andre Gide, Tolstoy, Anton Chekov, Dostoyevki, Guy de Maupassent, dan penulis-penulis Indonesia.

Kehidupan Trisnoyuwono sebagai orang Jawa sangat kental dengan budaya Jawa. Masyarakat Jawa terkenal dengan sikap dan sifat rumangsan, tepo seliro, mawas diri, budi luhur, nrimo ing pandum. feodalistik, fatalistik, lemah dalam mengambil keputusan, kekerabatan, kekeluargaan, mati raga, dan hipokrisi (Sutriano:1985).

Dalam kehidupan masyarakat Jawa terjadi stratifikasi sosial. Penyebab terjadinya stratifikasi sosial antara lain karena adanya kelompok-kelompok yang dihargai karena keturunan, kedudukan, kekuasaan, pekerjaan, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Dengan demikian setiap orang mempunyai situasi yang menentukan hubungannya dengan orang lain baik secara vertikal maupun horisontal dalam masyarakat. Stratifikasi semacam itulah yang melahirkan istilah wong cilik, priyayi, dan bangsawan. Masyarakat Jawa memiliki alat pencegah konflik, yang menurut Umar Kayam (1987) disebut the web of significance, dengan jalan mengembangkan jatmiko, hormat, rukun, edi peni dan adiluhung.
Semua itu ”menjerat” masyarakat Jawa menjadi konformis dengan keadaan yang selaras, teratur, damai, tenang, dan sejahtera. Hal tersebut akan terlaksana secara efektif apabila terdapat pemimpin yang informal dan tradisional dalam masyarakat.

Sejumlah norma, pranata sosial, politik, ekonomi, dan tradisi tersebut dapat diidentifikasi pengaruhnya terhadap karya yang dihasilkan oleh pengarang. Melalui kepekaan dan ketajaman inderanya, pengarang menangkap gejala zaman kemudian lahir keinginan untuk mengkomunikasikannya dengan masyarakat melalui karyanya.

Karya sastra tidak lepas dari penciptanya. Seorang penulis yang selalu berhubungan dengan kondidi sosial budaya tertentu dapat digunakan sebagai suatu petunjuk dari petunjuk-petunjuk yang lain. Oleh karena itu analisis unsur intrinsik dalam kajian ini akan dipadukan dengan analisis unsur ekstrinsik yang mendukung keutuhan karya sastra.

Mengenai keterkaitan antara kesatuan novel dengan latar belakang pengarang, Wellek dan Warren (1990) memberikan beberapa pandangan, antara lain (1) biografi pengarang dapat menerangkan dan menjelaskan proses penciptaan karya sastra yang sebenarnya; (2) kajian tentang latar belakang pengarang mengalihkan pusat perhatian dari karya sastra ke pribadi pengarang; dan (3) biografi pengarang dapat dipakai sebagai bahan untuk ilmu pengetahuan atau psikologi penciptaan artistik. 

Dalam kajian ini, pandangan tentang korelasi karya sastra dengan pengarang ditekankan pada poin pertama, yang mempelajari biografi dan latar belakang pengarang untuk menerangkan proses penciptaan karya sastra dan kemungkinan pengaruhnya terhadap kesatuan karya yang diciptakan.
Karya satra sebagai struktur yang memiliki hubungan timbal balik dengan aspek-aspek yang melatarbelakangi penciptaannya, antara lain kesejarahan pengarang, biografi pengarang, proses penciptaan, dan sosial budaya.

III. METODE


Metode adalah cara untuk bertindak secara sistematis dan terarah dalam upaya mencapai tujuan secara optimal. Metode yang digunakan dalam suatu kajian harus objektif, yakni terjadi kesesuaian dengan objek kodratnya. Demikian juga dengan kajian sastra harus mempertimbangkan keberadaan karya sastra yang akan dikaji. Setiap karya sastra memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan karya sastra yang lain. Karya sastra dipandang sebagai sistem, sebuah struktur yang keutuhannya dibentuk oleh kaitan tetap antar unsur yang ada di dalamnya. Dan keutuhannya memiliki keterkaitan dengan unsur ekstrinsik karya sastra tersebut.

Dalam kajian yang bersifat kualitatif ini digunakan metode dialektika. Metode dialektika adalah cara bertindak dan berpikir logis yang diawali dengan adanya tesis, antitesis, dan sintesis yang diterapkan pada objek bahasa. Metode dialektika diterapkan dalam cara kerja analisis sebagai berikut: (1) bermula dan berakhir pada teks sastra; (2) menekankan pada koherensi struktur karya sastra; (3) konsep yang digunakan adalah ”keseluruhan-bagian dan pemahaman penjelasan”, artinya karya sastra tidak dapat dipahami keseluruhannya tanpa memahami bagian-bagiannya; (4) gagasan individual dikatakan mempunyai arti apabila berada dalam konteks menyeluruh.

Secara ringkas, cara kerja metode dialektika adalah menganalisis struktur karya sastra dan menginterpretasikan keterkaitan antar unsur-unsurnya, kemudian menghubungkannya dengan latar belakang sosial budaya pengarang. Unsur-unsur yang dimaksudkan adalah alur dalam hubungannya dengan penokohan, setting, dan tema, serta identifikasi keterkaitannya dengan unsur ekstrinsik, yaitu latar belakang pengarang.

Selanjutnya, pengolahan data dalam kajian ini menggunakan teknik analisis, yang meliputi proses organisasi, interpretasi, dan evaluasi. Bertumpu pada teknik tersebut, maka langkah kerja analisis novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono dimulai dengan (1) membaca teks; (2) mengorganisasi struktur novel berdasarkan sekuen cerita; (3) mengidentifikasi keterkaitan alur dengan penokohan, setting, dan tema; (4) mengidentifikasi keterkaitan struktur novel dengan latar belakang pengarang; dan (5) menyimpulkan dan mengevaluasi struktur novel.


IV. DESKRIPSI HASIL ANALISIS UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK NOVEL PAGAR KAWAT BERDURI KARYA TRISNOYUWONO


4.1 Alur

Analisis Alur dilakukan dengan cara menyimpulkan data yang disajikan dalam teks. Dalam kajian novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono, analisis alur dibatasi pada dua jenis alur. Yaitu (1) jenis alur berdasarkan urutan peristiwa, dan (2) jenis alur berdasarkan tahapan peristiwa.

4.1.1 Jenis Alur Berdasarkan Urutan Peristiwa
 
Novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono tersusun atas peristiwa-peristiwa yang berangkaian membentuk sebuah teks. Untuk mengidentifikasi alur berdasarkan waktu, maka peristiwa-peristiwa dalam teks dipilah menjadi sekuen-sekuen ( untaian peristiwa). Dari urutan satuan teks yang berupa sekuen tersebut dapat diketahui jenis alur berdasarkan urutan peristiwa.

Sekuen pertama mendeskripsikan daerah pendudukan yang tampak tenteram di suatu sore , ketika cahaya matahari menyelimuti pegunungan yang membiru jernih di bumi Ambarawa. Suasana tiba-tiba berubah ketika muncul para pedagang yang menyelundup ke daerah pendudukan.

Pada Sekuen ke- 2 ditampilkan keberadaan dua orang pemuda pejuang yang menyamar di antara para pedagang, namanya Herman dan Toto. Mereka mengemban tugas dari Markas Besar Tentara di Jogja ( pada waktu itu pusat pemerintahan Indonesia berpindah ke Jogja). Tugas mereka mencari keterangan mengenai kemungkinan penyerbuan Belanda ke Jogja. Informan yang dicarinya adalah seorang kapten pemimpin gerakan bawah tanah yang dikabarkan hilang, namanya Krisna.

Kisah flash back tentang masa lalu Herman dan Toto dihadirkan dalam sekuen ke- 3. Di daerah pertempuran Mojokerto-Jombang, Toto menunjukkan keberaniannya ketika ia dan Herman terjebak patroli Belanda. Herman yang menyelamatkan pasukan dan Toto memancing serdadu Belanda dan menembakinya sampai mereka mundur dan tersesat. Keduanya mendapatkan penghargaan dari Komandan Daerah Pertempuran.

Sekuen ke- 4 kembali pada peristiwa masa kini yang berkisah tentang rombongan pedagang telah sampai di punggung bukit dan beristirahat. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan di tegalan dan sampai kebun kopi pada pukul lima sore.
 
Munculnya konflik terdapat pada sekuen ke- 5, ketika mereka sampai di jalan besar. Karena peristiwa itulah awal malapetaka yang menimpanya. Pada waktu mereka bersembunyi di rumah kosong, dan Pak Ijan yang mengenal medan mencoba mengintai keadaan, meletuslah bunyi tembakan dari serdadu Belanda yang sedang berpatroli. Pak Ijan tertembak, dan semua ditangkap.

Mereka dibawa ke markas IVG Ambara untuk menjalani pemeriksaan (sekuen ke- 6). Masalah semakin pelik karena Herman dan Toto yang secara fisik berbeda dengan yang lain, menimbulkan kecurigaan tentara Belanda. Keduanya dicurigai sebagai mata-mata republik, atau pejuang yang menyamar. Pada proses pemeriksaan, Herman dan Toto dipisahkan dari rombongannya.

Pada sekuen ke- 7, Herman dan Toto dipindah ke markas IVG Salatiga. Dalam interogasi mereka tidak mengakui jati dirinya sehingga disiksa sejak pagi sampai sore hari, kemudian dijebloskan ke dalam sel. keesokan hari keduanya ditelanjangi, tubuhnya dialiri listrik sampai meraung-raung. Demikian penyiksaan itu berlangsung selama satu minggu.

Selanjutnya Herman dan Toto dipindah ke kamp tawanan yang terletak di penjara umum Salatiga ( sekuen ke- 8), mereka tetap tidak mengakui jati dirinya. Belanda tetap menganggap keduanya sebagai orang yang berbahaya baginya.

Sekuen ke- 9 berisi peristiwa flash back tentang mantan komandan kamp yaitu De Groot, yang sekarang digantikan oleh Koenen. De Groot seorang komandan kejam yang memperlakukan tawanan seperti binatang. Pernah ia menghukum tawanan sampai giginya tanggal hanya karena kurang sempurna dalam membersihkan kamar mandi. Masa lalu De Groot dikomparasikan dengan komandan baru yaitu Koenen yang berbeda sifat dengan pejabat sebelumnya.

Para tawanan dipekerjakan setiap hari seperti budak (sekuen ke- 10). Mereka mengangkut batu dan pasir dari sungai, menumpuknya di tepi jalan, dan memecahinya kecil-kecil. Sebagian yang lain membersihkan ruang dan pekarangan.
 
Selesai bekerja dan makan siang, para tawanan dimasukkan kembali ke dalam sel
(sekuen ke- 11). Herman dan Toto terkejut ketika mereka melihat orang yang selama ini dicarinya, Kapten Kresna. Ternyata Kapten Kresna telah tertangkap lebih dahulu, namun di dalam sel itu ia dikenal sebagai Parman. Rupanya Kapten Kresna berhasil dalam penyamarannya. Parman sebenarnya telah lama mengamati Herman Toto. Kemudian mereka berunding tentang tindakan selanjutnya.
Pada sekuen ke-12 ketika para tawanan bekerja dilapangan, Parman menyampaikan rahasia tentang rencana penyerbuan Belanda ke Markas Besar TNI di Jogja. Parman mendengarnya karena ia bebas keluar masuk rumah Koenen, komandan yang selalu dikalahkannya dalam bermain catur. Herman dan Toto harus melarikan diri untuk melaporkan berita itu.

Peristiwa semakin tegang pada sekuen ke- 13, Parman menjelaskan kepada Herman dan Toto tentang cara melarikan diri, alat yang digunakan, jalan mana yang akan dilaluinya, dan waktu yang tepat untuk melaksanakannya. Parman telah mencuri sebuah tang kecil di rumah Koenen pada saat ia diundang bermain catur.

Konflik terasa meningkat (sekuen ke- 14) ketika rencana pelarian dimajukan. Parman memberitahu Herman dan Toto bahwa mereka harus pergi malam nanti. Siang itu tugas telah dibagi. Herman membawa surat penting yang dimasukkan ke dalam jahitan bagian bawah celananya. Sedangkan Toto bertugas memutuskan kawat-kawat berduri yang melingkupi kamp sebanyak tiga lapis.

Konflik memuncak pada sekuen ke- 15, Herman dan Toto mulai melarikan diri pada pukul satu dini hari. Parman membantu membukakan pintu dengan alat sebuah kawat. Kemudian mereka mengendap-endap menuju ke belakang sambil menghindari sorotan lampu sokle menara yang selalu berputar. Herman dan Toto melewati kamar mandi, dan merapat pelan-pelan ke pagar kawat berduri. Dengan rakus Toto memotong kawat-kawat. Akan tetapi, pada lapisan ke tiga kawat semakin sulit tiputuskan. Pada saat itulah seorang serdadu sorot lampu sokle mengenai tubuh keduanya. Rentetan tembakan menggetarkan kesunyian malam. Toto tertembak mati dan Herman berhasil meloloskan diri dengan surat di jahitan celananya. Herman lenyap ditelan kegelapan dalam kebun kopi. Mendengar suara tembakan itu, Parman merasa tak mampu berdiri lagi.

Sirine tanda bahaya menjerit-jerit (sekuen ke- 16), komandan Koenen membangunkan semua tawanan, membariskannya, dan menghitung jumlahnya. Kurang dua. Setelah dicek, ternyata Herman dan Toto tidak ada. Koenen menghampiri mayat yang tergeletak, membalik tubuhnya, dan sangat terkejut melihat tang miliknya dalam genggaman Toto. Ia ingat Parman, karena hanya dialah yang bebas ke rumahnya. Parman, orang yang sangat dikaguminya ternyata berkhianat.
 
Pada sekuen ke- 17, Koenen kehilangan kepercayaan, kalut, pusing, dan tidak sanggup menahan untuk menarik pelatuk pistolnya. Koenen bunuh diri. Keesokan paginya, ketika ayam jantan berkokok tiga kali, terdengar suara tembakan. Parman dieksekusi oleh kopral serdadu Belanda bernama Boy.
Berdasarkan urutan peristiwanya, novel Pagar Kawat Berduri beralur linier. Peristiwa-peristiwa disusun secara kronologis dari masa lalu ke peristiwa masa depan. Walaupun alur linier tersebut diberi variasi peristiwa-peristiwa flash back, dominasi alur maju tidak terganggu.

4.1.2 Jenis Alur Berdasarkan Tahapan Konflik

Alur novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono disusun atas tahapan-tahapan peristiwa yang mengandung konflik. Tahapan-tahapan konflik tersebut dapat diidentifikasi dalam setiap sekuen yang membentuk kesatuan cerita. Berikut kerangka tahapan alur.

Tahap Paparan

Herman dan Toto, tentara pelajar yang mengemban misi dari markas besar TNI , menyamar di antara para pedagang yang memasuki daerah pendudukan Belanda di Ambarawa.

Tahap Rangsangan

Rombongan pedagang penyelundup yang akan melalui jalan besar tertangkap oleh patroli Belanda, termasuk Herman dan Toto.

Tahap Gawatan

Herman dan Toto dicurigai sebagai mata-mata oleh Serdadu Belanda, sehingga dalam pemeriksaan mereka disiksa karena tidak mengakui jati dirinya.

Tahap Tikaian

Herman dan Toto dijebloskan ke kamp tawanan Salatiga. Bertemu Kapten Kresna (Parman), pemimpin gerakan bawah tanah yang dinyatakan hilang. Mereka merencanakan melarikan diri untuk menyampaikan informasi rencana penyerbuan Belanda ke Markas Besar TNI.

Tahap Rumitan

Herman dan Toto melarikan diri dengan bantuan Parman yang telah mencuri tang di rumah Koenen sebagai alat. Herman membawa surat rahasia dan Toto bertugas memotong pagar kawat berduri berlapis tiga yang melingkungi kamp tawanan.

Tahap Klimaks

Ketika sedang memutuskan kawat lapis ke tiga, mereka tersorot lampu sokle menara penjara, Toto tertembak mati dan Herman yang membawa surat berhasil lolos. Herman lenyap dalam kegelapan kebun kopi.

Tahap Leraian

Tang yang masih tergenggamdi tangan Toto membuat Koenen kehilangan kepercayaan dan sangat kecewa. Parman, tawanan yang amat dipercaya dan dikagumi, ternyata berkhianat dengan mencuri tang miliknya serta mendalangi pelarian itu.. Penyamaran Parman terbongkar. Koenen menembak kepalanya sendiri.

Tahap Selesaian

Keesokan hari, Parman dieksekusi. Ia ditembak mati oleh serdadu Belanda tepat ketika ayam jantan berkokok tiga kali.


Berdasarkan tahapan-tahapan konflik di atas dapat disimpulkan bahwa novel Pagar Kawat Berduri Karya Trisnoyuwono beralur menanjak, yaitu konflik cerita berderap sampai klimaks.

4.2 Keterkaitan antara Alur dengan Penokohan

Keterkaitan antara alur dengan penokohan akan terlihat secara jelas apabila diketahui lebih dahulu deskripsi penokohan. Oleh karena itu sebelum menganalisis keterkaitan antara alur dengan penokohan akan dibahas dahulu deskripsi tokoh-tokoh dalam novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono.
Banyak tokoh yang turut mengemban peristiwa dalam novel Pagar Kawat Berduri, tetapi hanya tokoh-tokoh inti yang akan diidentifikasi penokohannya, yaitu Herman, Toto, Kapten Kresna, dan Komandan Koenen.

a. Deskripsi Tokoh Herman
Herman seorang seorang pejuang yang berpengalaman dalam menjalankan tugas rahasia. Ia sangat loyal kepada bangsa dan negaranya. Dalam menghadapi sesuatu, Herman selalu tenang dan hati-hati. Ia cerdik dan cerdas, serta tabah dalam menghadapi penderitaan. Secara fisik Herman digambarkan dengan tubuh yang tidak begitu tinggi, matanya bagus, serta kulitnya halus dan licin.

b. Deskripsi Tokoh Toto
Toto seorang pejuang yang rela berkorban demi bangsa dan negaranya. Ia berkarib dengan Herman sejak pecah revolusi. Toto sangat pemberani, keras, mudah marah, dan ceroboh. Ia juga tidak sabar dan kurang bisa mengendalikan diri. Secara fisik ia tidak begitu digambarkan oleh pengarang. Hanya dijelaskan bahwa ia masih muda dan warna kulitnya agak hitam. Dalam penyamarannya ia dan Herman mengaku sebagai pelajar yang akan melanjutkan sekolah di Semarang.

c. Kapten Tokoh Kresna
Kapten Kresna, seorang pemimpin gerakan bawah tanah di wilayah Jawa Tengah, yang menyamar sebagai guru SMP bernama Parman. Ia orang yang dicari oleh Belanda karena dianggap berbahaya. Karakternya tenang, sederhana, simpatik, sehingga disegani setiap orang yang mengenalnya. Ia mahir bermain catur, bahkan Koenen, komandan kamp tawanan, selalu dikalahkannya. itulah yang menyebabkan Koenen begitu kagum kepadanya. Ia bebas keluar masuk rumah dinas Koenen walaupun statusnya sebagai tawanan. Sehingga ia berhasil mencuri tang di rumah Koenen sebagai alat pelarian Herman dan Toto. Secara fisik, Parman digambarkan sebagai wujud seorang priyayi. Tubuhnya tinggi, wajahnya tampan, kulitnya kuning, hidungnya mancung, dan matanya bagus. Ia diibaratkan seperti emas. Ia memperoleh simpati dari berbagai kalangan, baik bangsa sendiri maupun bangsa musuh. Ia cerdas, cerdik, dan mempunyai kemampuan luar biasa untuk mengatur dan merencanakan sesuatu.

d. Deskripsi Tokoh Koenen
Koenen seorang komandan kamp berpangkat sersan mayor. Ia sebenarnya mahasisiwa sebuah universitas di Amsterdam, karena adanya peperangan, ia dikirim ke Indonesia. Meskipun musuh, ia baik dan menghargai orang Indonesia, khususnya para tawanan. Ia menjunjung nilai kemanusiaan. Koenen Bahkan memberikan gitar dan harmonika kepada tawanan untuk mengusir rasa sepi. Koenen gemar bermain catur, ia telah menemukan lawan main yang selalu mengalahkannya. Dialah Parman, seorang tawanan yang sebenarnya adalah Kapten Kresna. Koenen sangat kecewa ketika Parman mendalangi pelarian Herman dan Toto. Ia kehilangan kepercayaan kepada manusia, bahkan kepada dirinya sendiri. Ia bunuh diri. Secara fisik Koenen digambarkan sebagai orang yang rapi, bersih, dan mukanya licin, rambutnya selalu disisir rapi.

Alur dalam sebuah karya fiksi tidak akan terwujud tanpa adanya tokoh. Tokoh-tokoh terbutlah yang menggerakkan alur novel Pagar Kawat Berduri. Mulai tahap paparan sampai tahap selesaian tampak jelas peran tokoh dalam menggerakkan alur. Tokoh dengan pemberian karakter tertentu juga mempengaruhi pergerakan dan perkembangan alur yang terjadi. Seperti pada tahap klimaks, pemberian karakter pemberani, nasionalis, dan tabah, meyebabkan terjadinya peristiwa pelarian tokoh Herman dan Toto. Sifat tenang dan hati-hati tokoh herman menyebabkan ia diberi kepercayaan untuk membawa surat rahasia. Dan sifat itu pula yang mengakibatkan ia selamat dan lolos pada saat melarikan diri. Sifat Toto yang pemberani tetapi ceroboh, tidak sabar, dan mudah marah menyebabkan ia gagal dalam pelarian itu dan tertembak mati oleh serdadu Belanda.

Parman dengan sifat yang dimiliki selalu berhasil dalam merencakan sesuatu. Ia berhasil dalam penyamarannya, walaupun tertangkap, ia tidak diketahui jati dirinya. Ia berhasil mencuri informasi rencana penyerangan Belanda ke Markas Besar Tentara. Ia juga berhasil menyusun dan melaksanakan pelarian Herman dan Toto dari tahanan. Bahkan sampai mati ia tetap dikenal sebagai Parman.
Dari bukti-bukti tersebut sudah menunjukkan bahwa alur dan penokohan mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi. Jika penokohan dalam novel Pagar Kawat Berduri diubah, maka akan terjadi perubahan juga pada alurnya. Alur yang tersusun atas rangkaian-rangkaian peristiwa tidak akan berkembang secara dinamis menuju tahapan-tahapan apabila tidak ada seorang tokoh pun yang dihadirkan oleh pengarang di dalam cerita.

4.3 Keterkaitan antara Alur dengan Setting

Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi yang dapat berupa tempat, waktu, maupun suasana. Berikut adalah setting-setting yang dominan dalam novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono.

a. Setting Tempat
Setting tempat dalam novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono, secara umum berupa daerah pertempuran di wilayah Jawa Tengah, khususnya Salatiga, Ambarawa, dan Jogja. Namun, secara spesifik cerita difokuskan dalam kamp tawanan atau penjara yang dilingkungi pagar kawat berduri berlapis tiga dengan penjagaan ketat.

b. Setting Waktu
Secara umum peristiwa dalam novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono terjadi pada tahun 1948, yaitu pada masa Agresi Militer Belanda II. Secara khusu waktu dijelaskan dengan penanda-penanda tertentu, misalnya pagi, siang , sore, setelah jam kantor bubar, pada saat ayam jantan berkokok, dan matahari condong ke barat. Selain itu juga menggunakan keterangan pukul, hari, dan tanggal.

c. Setting Suasana
Setting suasana adalah keadaan yang dirasakan oleh pembaca berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita. Suasana yang mengawali novel ini adalah damai, ketika rombongan pedagang memasuki daerah pendudukan. Suasana digambarkan tenang, dan tenteram pada sore hari ketika matahari sore menyelimuti gunung yang membiru di Ambarawa.
Suasana mulai berubah tegang dan mencekam ketika Herman dan Toto bersama rombongan pedagang tertangkap dan diperiksa. Selanjutnya suasana haru, sepi, bercampur mencekam ketika para tokoh protagonis merencanakan pelarian dari kamp tawanan. Puncak suasana mencekam terjadi pada tahap klimaks, ketika Toto tertembak mati dan Herman lolos membawa surat rahasia. Suasana sedih ketika Koenen bunuh diri dan duka ketika Kapten Kresna dieksekusi mati.
Baik secara fisik maupun psikologis, setting mempengaruhi terciptanya alur dalam novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono. Setiap peristiwa yang terjadi dapat diidentifikasi keberadaan setting, kapan, di mana, dan bagaimana peristiwa itu terjadi. Jawaban pertanyaan tersebut adalah wujud setting yang sesungguhnya. Setting sebuah kamp tawanan memberi citraan yang harmonis dalam perjalanan tokoh-tokoh mengemban alur dalam novel ini. Dimulai dari kehadiran rombongan pedagang yang akan menyelundup, sampai di kamp tawanan pada saat Parman dieksekusi mati, merupakan gambaran jalinan antara alur dengan setting cerita yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain.

4.4 Keterkaitan antara Alur dengan tema

Setelah diidentifikasi alur, penokohan, dan setting, dapat dirumuskan tema novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono, yaitu Perjuangan dan pengorbanan warga negara dalam mempertahankan kemerdekaan. Demi cintanya kepada tanah air, Herman, Toto, dan Parman, serta para pejuang yang lain rela kehilangan harta, benda bahkan nyawa.

Tema tersebut dapat ditelusuri melalui motif-motif yang ada pada setiap rangkaian peristiwa atau alur novel Pagar Kawat Berduri. Selain itu juga dapat ditelusuri melalui kehadiran tokoh dan setting yang mendukungnya.

Berdasarkan tema di atas dapat dirumuskan amanat cerita, antara lain (1) Lebih baik mati dalam peperangan dari pada hidup terjajah; (2) Seburuk-buruk manusia adalah manusia yang berkhianat kepada bangsanya; (3) Berjuang membela bangsa merupakan kewajiban semua orang; dan (4) Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh karena itu perjuangkanlah.

4.5 Keterkaitan antara Alur dengan Latar Belakang Sosial Budaya
Pengarang

Kesatuan novel Pagar Kawat Berduri mendapat pengaruh dari pengaranganya, yaitu Trisnoyuwono. Hal itu dapat diidentifikasi dari persamaan-persamaan atau kecocokan antara perjalanan hidup Trisnoyuwono dengan perjalanan tokoh-tokoh dan peristiwa yang dialami tokoh cerita. Bahkan kehidupan Trisnoyuwono sebagai tentara dalam revolusi kemerdekaan antara tahun 1948-1949 secara jelas tercermin dalam peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh. Meskipun demikian novel Pagar Kawat Berduri bukanlah suatu kisah nyata murni dari seorang tentara bernama Trisnoyuwono. Namun kisah hidup pengarang telah menjadi inspirasi atas terciptanya novel ini.Tidak hanya mewarnai alur, kisah pengarang juga tampak pada setting, karakter para tokohnya, bahkan pada tema cerita.

Namun, pada bagian akhir cerita rupanya hanya merupakan hasil imajinasi Trisnoyuwono karena peristiwa-peristiwa di akhir cerita sama sekali tidak pernah dialami Trisnoyuwono. Seperti tertembaknya Toto ketika melarikan diri dari kamp tawanan. Peristiwa terbongkarnya penyamaran Parman. Dan tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh Koenen. Serta peristiwa eksekusi mati Parman oleh Kopral Boy. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa alur novel Pagar Kawat Berduri memiliki keterkaitan yang erat dengan pengarangnya, baik ia sebagai tentara,sebagai orang Jawa, maupun sebagai pemeluk Islam.


V. PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan deskripsi hasil analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono, dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut.

1. Alur novel Pagar Kawat Berduri (1) berdasarkan urutan waktu berjenis alur linier dengan
variasi sorot balik; (2) berdasarkan tahapan konfliknya, novel Pagar Kawat Berduri
beralur menanjak.

2. Alur novel Pagar Kawat Berduri memiliki keterkaitan yang erat dengan unsur intrinsik dan
ekstrinsik, antara lain: penokohan, setting, tema, dan latar belakang sosial budaya pengarang.

3. Kesatuan novel Pagar Kawat Berduri mengangkat tema perjuangan dan pengorbanan
mempertahankan kedaulatan negara.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono, penulis menyampaikan beberapa saran sebagai berikut.

1. Bagi guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

Hendaknya mengarahkan siswa dalam pembelajaran apresiasi sastra ke arah cara kerja
struktural genetik, yang memandang karya sastra memiliki korelasi yang erat dengan unsur
ekstrinsik. Dan tidak memandang karya sastra sebagai suatu yang otonom.

2. Bagi pengkaji selanjutnya

Kajian ini belum menyentuh aspek psikologi dan sosiologi secara luas, sehingga dapat
dijadikan objek kajian berikutnya dengan cakupan ranah kajian yang lebih luas.

9 komentar:

  1. Nice post. Orang sastra ya? Penelitiannya hebat.

    BalasHapus
  2. Wah ini kalau dikembangkan bisa jadi tesis ya... atau ini ringkasan tesis
    Bener2 tulisan ilmiah ya...

    BalasHapus
  3. Sebuah Analisis yang hebat,...
    Jadi bahan pengembangan profesi untuk kenaikan pangkat yah mbak?

    BalasHapus
  4. Komentar saya dimoderasi atau memang blm masuk?

    BalasHapus
  5. waaaahh tulisan yang komplit...siip

    BalasHapus
  6. tinjauan yang tajam. analisis, metodologis, obyektif dan cerdas.
    nice posting, ibu.





    terus berkarya!

    Ratno Suwondo

    BalasHapus
  7. duuuhhh... gak ngerti blas aku...

    BalasHapus
  8. Teruslah berkarya wahai anak bangsa,,, salam sukses,,

    BalasHapus
  9. seperti dosen saya dulu,,, sangat pinter dan tajam dalam menganalisa,,, maju terus bu,,,,salam sukses,

    BalasHapus