17 Februari 2019

Jalan-Jalan ke Buduk Asu


Sebagian masyarakat Malang Raya dan sekitarnya tentu tak asing lagi dengan Buduk Asu, akan tetapi tidak dapat dipastikan bahwa sebagian masyarakat tersebut mengetahui lokasi atau pun suasananya. Buduk Asu, suatu tempat di wilayah Kabupaten Malang yang  namanya disebut dalam legenda. Konon, pada zaman dahulu banyak anjing (asu) yang mati karena wabah penyakit buduk (lepra, gatal-gatal) dan dibuang/dikubur di bukit yang terletak 2000 mdpl tepatnya di lereng Gunung Arjuno. Bukit itulah yang kemudian dinamakan Buduk Asu.
Simer The Leader
Walaupun sudah berkali mendaki Gunung Arjuno sampai ke puncak Ogal-Agil, saya belum pernah sekali pun ke Buduk Asu. Naaah... hari ini saya mendapat kesempatan yang sangat berharga dari para sahabat NGALAM HORE yang notabene adalah offroader, yaitu Doddi Indra Susantya, Riff Sugiarto, dan teman-teman dari komunitas VES, yang secara kebetulan juga berbarengan kawan-kawan Tawon Rimba. Sebenarnya kami juga bersama dengan Meirizal dan rombongan motor trail, tapi karena bersisipan di jalan, kami tak sempat bertemu. 

Ini adalah kali pertama saya ke bukit Buduk Asu. Dan saya tidak membiarkan perjalanan ini hanya dikenang dalam ingatan, akan tetapi saya mencoba mengabadikan dalam tulisan di sini. Meskipun tak banyak kekayaan narasi yang mampu tersaji, biarlah gambar-gambar ini bertutur dan menyatu dalam imajinasi para pembaca, syukur-syukur jika bisa dijadikan sebagai media  literasi alam per-blakraan.
 


Dari Kota Malang kami berangkat pukul 08.30 WIB melalui jalur desa Toyomarto Singosari. Perjalanan sedikit terhambat karena ada hajatan warga yang menutup jalan di desa terakhir sebelum memasuki “gerbang” menuju Buduk Asu.  Walaupun sempat putar balik mencari jalur alternatif, kami menemukan jalan yang sedikit melambung namun bisa terhubung kembali dengan jalan yang seharusnya kami lalui.
 Baru beberapa meter meninggalkan  perkampungan, jalan tanah menyerupai kubangan kerbau telah menghampar di antara kebun penduduk. Sejak di tempat inilah four-wheel drive dioperasikan. Beraneka pemandangan alam pedesaan silih berganti kami lalui, mulai dari semak belukar, rumpun bambu, sampai dengan trowongan alami yang terbentuk dari rimbun pepohonan. Tumbuhan liar berjajar di sepanjang jalan semacam barikade di kedua sisi jalan dengan kontur permukaan yang tak rata, bukan sekadar bergelombang. Sesekali kami harus berbagi jalan dengan para Crosser atau Biker yang berpapasan dan saling tegur sapa ramah, sangat mengesankan.


Pukul 09.42 WIB kami memasuki Pergola Beringin, seolah pintu gerbang berupa pohon beringin di sebelah kanan dan kiri yang rerantingnya berpaut menyerupai pergola. Jalan meliuk, menanjak, menurun adalah bagian dari tujuan dan harapan kami.
 
Medan berseling antara tanah liat yang licin, bebatuan lepas, sampai dengan patahan-patahan  jalan yang tampak penampangnya. Bekas gilasan roda-roda yang terus menggerus tanah membentuk sepasang anak sungai. Jalur berlumpur pun menjadi keasyikan tersendiri, seperti tampak pada video berikut.
Satu jam kemudian kami memasuki kawasan perkebunan kopi, berbatasan dengan hutan pinus yang berjajar indah dengan pucuk-pucuk daun berwarna hijau kekuningan. Ketika Simer alias Angpo (tidak hanya manusia, mobil juga punya nama samaran) terus berjalan, kami berhenti sebentar untuk cekrak-cekrek mengambil gambar,sebagaimana pesan: "Jangan meninggalkan apa pun selain jejak, dan jangan mengambil sesuatu kecuali gambar"

Setelah melewati hutan pinus kami menjumpai tiga gazebo beratap sirap yang pada saat itu digunakan sebagai tempat rehat para pendaki dan crosser. Dari jauh tampak berderet air mineral kemasan di gazebo tersebut, mungkin sejenis warung.


Tak jauh dari tempat ini, kami tiba di Loket/Pos namun kosong, tak satu pun petugas di sana. Setelah berhenti sebentar dan ngecek jalur di depan, perjalanan pun dilanjutkan dengan memasuki gerbang kayu.


Di depan tempat kami berhenti itu, ada gapura yang dibuat dari tumpukan kayu dengan sepasang umbul-umbul merah putih di kanan dan kiri yang sekilas menyerupai terowongan. Ke arah terowongan itulah kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Buduk Asu sambil berkhayal tentang Lorong Waktu.


Ekstrem itu relatif, bergantung pada sudut pandang orang dengan pengalaman dan jam terbang yang berbeda. Namun bagi saya, memasuki terowongan itu adalah awal perjalanan dengan medan yang ekstrem.
 
Vegetasi tak lagi kebun dan ladang, namun sudah kawasan hutan belantara. Suara nyaring gerombolan serangga Garengpung/ Tonggeret/ Cenggeret mempertegas suasana hutan tropis yang khas, biasanya menjadi penanda musim penghujan akan berakhir.

Tantangan selanjutnya berada di Tanjakan Pytax. Hambatan makin bertambah. Beberapa batu besar tergelempang di jalan dalam balutan tanah licin. Cekungan tanah semakin dalam. Jenis tanah semakin liat dan licin. Akar dan batang pohon mengarah ke jalan. Badan jalan menyempit.

Di Tanjakan Pytax itulah roda depan Simer terjerembab di obstacle, yakni terperosok ke dalam lubang dengan akar pohon menghadang di depan. Akhirnya winching pun dilakukan. Di sinilah muncul jiwa korsa. Teman-teman segera turun tangan dan membantu mencarikan winch point. Jadi teringat kata-kata Ndorone Simer: "Di tempat seperti ini uang tidak laku, yang diperlukan hanyalah persahabatan/persaudaraan yang tulus"



Jika dibandingkan dengan jalur ekstrem lain, sesungguhnya ini merupakan jalur yang "aman" menuju puncak Buduk Asu. Karena pada beberapa simpang jalan kita bisa menentukan pilihan. Kanan atau kiri. Tingkat kesulitan sedang ataukah tinggi. (Dan saya selalu mengusulkan untuk memilih yang aman-aman saja). Seaman-aman jalur yang ditempuh, ya seperti itu kenyataanya. Tidak mudah dilalui. Akan tetapi, memang inilah yang sesungguhnya dicari.

Dari titik ini menuju puncak Budug Asu hanya sekitar lima ratus meter. Tapi, siapa yang bisa menjamin jarak tersebut bisa tertempuh sekian menit? Karena ada kalanya jarak tempuh tidak bersahabat dengan waktu tempuh. Kesulitan di tempat ini adalah tingkat kemiringan jalan, licin, menanjak berkelok, dan sisi jalan berbatasan dengan jurang. Semak belukar dengan batang keras pun menutup jalan.

Namun, saat saya melihat bendera merah putih berkibar di ujung tiang, hmmmm perasaan makin gembira. Itulah puncak bukit Buduk Asu. Saat tiba di puncak, cuaca sangat cerah silih berganti dengan kabut yang berarak dan berpindah sesuai perintah angin. Sabana menjadi lanskap alam yang menghampar indah, sungguh elok dan eksotis. Udara sejuk bercampur uap air terasa ion-ion negatif yang mampu mensuplay energi positif bagi tubuh manusia. Panorama pada satu sisi tampak lembah/ngarai dan tebing terjal yang menantang jiwa muda untuk meraih poin demi poin pada dindingnya. Di balik kabut itulah sebenarnya letak Gunung Arjuno yang megah, namun hanya terlihat samar karena kabut yang selalu berarak. Sedangkan di sisi lain hamparan kebun teh juga menggigil dalam selimut kabut, jadi teringat cerita dalam sebuah novel picisan.

Sayang sekali di puncak bukit Buduk Asu ini banyak fasilitas yang rusak. Gazebo tempat istirahat roboh tertimpa pohon. Warung tutup (menurut info teman-teman, biasanya warung tersebut buka tiap hari Sabtu, Minggu, atau hari libur lainnya). Toilet kehilangan air, bahkan tak lagi berdinding. Spot-spot foto mulai merapuh, termasuk gardu pandang berbentuk kepala anjing pun tak terawat. Tentu hal ini mengurangi nilai Buduk Asu sebagai destinasi wisata pegunungan yang banyak digandrungi masyarakat tertentu, khusunya para offroader, crosser, pendaki, dan kaum muda pada umumnya.

Setelah beberapa saat istirahat di puncak bukit sambil berbincang sana-sini dan menikmati bekal logistik kecil-kecilan, kami meninggalkan Buduk Asu. Dalam perjalanan turun ini, beberapa kali berhenti di  jalan sempit dan curam, bahkan harus mundur menanjak untuk memberi kesempatan  rombongan trail agar mereka bisa lewat. Saat saling tergur itulah diketahui bahwa mereka berasal dari Surabaya.
Di simpang jalan, kami memilih rute yang berbeda dengan jalur ketika berangkat. Berangkat lewat  rute Toyomarto, Singosari dan pulang melalui kebun teh area BBIB (Balai Besar Inseminasi Buatan) Desa Sumberawan-Songsong-Singosari. Jalur ini melintasi sungai kering dan tanjakan yang menikung dengan material bebatuan lepas.

 Memasuki kawasan kebun teh, kami berhenti sebentar dan cekrak-cekrek lagi. Pada saat berhenti itulah four-wheel drive tak digunakan lagi karena telah memasuki jalur datar (Dahulu, saat masih senang naik gunung, bidang datar dalam pendakian itu saya sebut dengan istilah "Jalur Alhamdulillah")

Petualangan hari ini pun usai. Kami berpisah di jalan dan menuju rumah masing-masing. Terima kasih para sahabat. Terima kasih oh Allah yang Maha Baik. Semoga keberkahan senantiasa tercurah pada kami dan para sahabat dalam segala kebaikan, juga berkah usia. Agar bisa senantiasa bertadabur alam bersama. Aamiin.

1 komentar:

  1. The most enduring symbol of the Norse - titanium arts
    › tj-metal-arts › tj-metal-arts The most enduring symbol งานออนไลน์ of the Norse - titanium arts · The most enduring symbol of the Norse - 에그 벳 titanium 바카라 사이트 arts · The most enduring symbol 메리트 카지노 주소 of the ford fusion titanium Norse - titanium arts.

    BalasHapus