28 Oktober 2008

Di Sana Kusandarkan Gelisah

Sore itu matahari cerah

Perlahan tetapi pasti begeser ke barat

Ombak beriak kecil-kecil 

Bergelombang menuju ke pantai

 

Air belum pasang

Kami  tetap gigih

Menyatukan tenaga dan pikiran

Untuk bisa membawamu dengan selamat

Peluh menetes

Tempias debu, pasir, dan air laut menyatu

Berlepotan tubuh

Tak peduli

                                                    

Sore beranjak

Berganti senja

Warna jingga di langit merayap

Menyentuh cakrawala

Sementara itu

Kelam dan rasa cemasku berkejaran

 

Warna jingga tak lagi ada

Hari hampir gelap

Maghrib tiba

Suara azan tanpa pelantang terdengar sayup

Dari surau kecil di tepi hutan berpantai

Kutinggalkan sejenak dirimu

Di sana kusandarkan gelisah

Kugantungkan harapan

Akan keselamatmu

 

Sebentar lagi laut pasang

Ombak bergulung semakin besar

Berdebur ke pantai menghempas kuat

Lalu berbalik dan menyeretnya ke laut

Kutakut kau terhanyut

 

Demi dirimu

Semangat  pun turut pasang bersama air laut yang enggan menyurut

Rawe-rawe rantas, malang-malang putus

Semangat dan kebersamaan berhasil indah

Kau kubawa pulang

***


26 Oktober 2008

Bocah di Balik Pintu

Suatu sore

entah purnama ke berapa

ketika hujan turun dan langit hampir gelap

angin menghempas pepohonan 

 

Aku dan Ibu melihat

bocah kecil mengintai di balik pintu 

lalu berkelebat bayangan 

menghilang

 

Ibu mengejar 

lalu menangkapnya

saat ia bersembunyi 

di balik rimbun bunga-bunga 

terkejutlah Ibu

bocah kecil yang gemetar itu

adalah anak lelakinya sendiri

yang diasuh Paman-Bibi

 

Direngkuhnya bocah kecil menggigil

lalu tenggelam dalam dekapan yang basah 

air mata ibu menetes

 

Kini...

bocah kecil yang mengintai di balik pintu rumah

telah pergi jauh karena tugasnya

mengabdi jiwa raga demi bangsa negara

izinkan dia pergi berjuang, Ibu...

berikan restumu

sebagaimana dia telah memohonnya

dengan mencuim tanganmu,

dengan mencium keningmu, 

dan mencium kakimu

 

Ibu pun mendekapnya seperti dahulu

kali ini tanpa air mata

restu dan doa Ibu menaunginya

bersama harapan:

sejauh-jauh pergi

selama-lama bertugas

dinantikan anaknya pulang

walau kelak

hanya bertemu pusara

***

 

 

08 Oktober 2008

Gaya Bahasa dalam Lirik Lagu "Ibu" Karya Iwan Fals


Pengantar:

Ketika masih berdinas di Madura, saya pulang ke Malang setiap minggu. Bahkan pada beberapa tahun terakhir, saya bertugas mengajar di dua kota yang berjauhan. Senin-Kamis di Pamekasan, dan Jumat-Sabtu di Malang (sebagai prasyarat untuk bisa mutasi di Malang). Begitulah rutinitas saya sebagai "musafir yang lalu", selama tujuh tahun. Ada rasa melankolis yang sulit dilupakan saat itu. Hampir setiap hari Kamis, saat dalam perjalanan Pamekasan-Malang saya mendengar lagu Ibu (Iwan Fals) yang dinyanyikan oleh seorang pengamen dalam bus antarkota. Pengamen yang sama, dengan lagu yang sama, dan pada tempat yang kurang lebih juga sama (antara Surabaya-Sidoarjo). Setiap mendengar lagu itu saya merasa hanyut dan dilingkupi atmosfer rasa yang membuncah di dada. Saya merasakan hal yang sama dari waktu ke waktu: sedih, haru, rindu, lalu menangis. Bagi saya syair dan lantunan lagu tersebut seolah mengguyur kerinduan kepada ibu.

Dan, saya mencoba mengupas teks/ lirik lagu Ibu berdasarkan gaya bahasa (figurative language). Gaya bahasa biasa juga disebut dengan majas, yaitu pemakaian ragam tertentu dalam bertutur bahasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gaya bahasa didefinisikan sebagai berikut.


gaya2 » gaya bahasa

  1. Ling pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis
  2. Ling pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu
  3. Ling keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra
  4. Ling cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis atau lisan


1. Metafora

Metafora adalah gaya bahasa perumpamaan langsung tanpa menggunakan kata seperti, laksana, bagaikan, dsb. guna memberikan efek atau mengungkapkan imaji/pencitraan tertentu. Berikut gaya bahasa metafora yang terdapat dalam lirik lagu Ibu karya Iwan Fals.


/Ribuan kilo jalan yang kau tempuh/ 

Dalam lirik lagi Ibu, tanggung jawab dan perjuangan seorang ibu menjalani kodrat sebagai orang tua terhadap anak, diumpamakan dengan perjalanan jauh menempuh jarak ribuan kilometer. Pada kenyataannya bahkan mungkin lebih berat dari itu, seandainya tanggung jawab seorang Ibu bisa dihitung dan diukur, dan seandainya setiap langkah ibu bisa dihitung dan diukur. Apalagi dalam lirik ini tokoh Ibu digambarkan sebagai sosok sederhana, pekerja keras, menderita, dan terkesan multiproblem. Frasa "ribuan kilo" tidaklah sekadar mengungkapkan jarak tempuh semata, namun merupakan metafor tentang beratnya suatu kehidupan.  Semua dijalani Ibu demi keuarga, demi anak, demi sandang pangannya, pendidikannya, kesehatannya, kebahagiaannya, dan keberhasilannya.


/Lewati rintang untuk aku anakmu/

Perjalanan hidup ibu tidaklah mulus tanpa hambatan. Kesulitan dan penderitaannya dimetaforkan dengan kata "rintangan", yaitu sesuatu yang menghalangi, mengganggu, mengusik, atau menghadang sehingga menghambat kelancaran perjalanan.Walaupun rintangan mengahadang, kesulitan hidup tak terelakkan, Ibu pantang putus asa, tidak menghindari masalah tetapi menghadapinya, melewatinya, dan menjalaninya walau penuh rintangan.



 /Ibuku sayang masih terus berjalan/ 
/Walau tapak kaki, penuh darah penuh nanah/

Ibu terus berjalan, terus berjuang dan memperjuangkan hidupnya. Semangat Ibu dalam menjalani kehidupnya dimetaforkan dalam frasa "terus berjalan". Walaupun berat dan sulit, Ibu terus berjuang tanpa berkata lelah, tanpa keluh kesah. Ibu rela berkorban, mengorbankan kepentingannya, rela menderita dan bersusah payah demi kebahagiaan anaknya. "Darah" dan "nanah" adalah metafor tentang penderitaan dan kesulitan. Hidup memang sulit, namun harus tetap dijalaninya. Karena selama ada napas, maka hidup harus terus berlanjut.

/Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu/
/Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu/
/Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku/

Ada imaji visual di sini, bahwa dalam konteks ini ada jarak yang memisahkan antara anak dan Ibu. Ada kerinduan, ada rasa yang tak teridentifikasi, ada sesuatu, sehingga anak ingin berada di dekat Ibu dan menangis di pangkuannya sampai tertidur, bagai masa kecil yang indah. Pangkuan Ibu adalah metafor tentang kehangatan, tempat rebah terindah bagi manusia. Di pangkuan Ibulah seseorang bisa bercerita bahkan menangis. Tak ada keluh kesah, Ibu menerimanya dengan pengharapan dan doa terbaik. Doa Ibu sumber kekuatan bagi anak. Setiap kata dan ucapan Ibu adalah  doa yang terindah untuk anaknya. Bagai obat luar yang membalur tubuh, menghangatkan, menguatkan, dan menyembuhkan. Juga, doa Ibu bagi anak  dimetaforkan selimut hangat yang meninabobokan.




2. Hiperbola

Hiperbola adalah gaya bahasa yang menggunakan pernyataan dibesar- besarkan, baik jumlah, ukuran maupun sifatnya, dengan maksud memberi penekanan intensitas. Gaya bahasa hiperbola yang terdapat dalam lirik lagu Ibu karya Iwan Fals tampak pada kutipan berikut.

/Ibuku sayang masih terus berjalan/
/Walau tapak kaki, penuh darah penuh nanah/

Walaupun terdapat gaya bahasa hiperbola, namun lirik lagu Ibu tidaklah hiperbolis. Aneh kan? Karena kehadiran majas tersebut tidak bersifat bombastis, juga bukan bualan semata. Gaya bahasa hiperbola  yang digunakan justru memberikan intensitas makna yang terkandung. Ibulah orang tersayang dalam hidup ini. Kasih sayang Ibu tidak mengenal lelah. Dalam kutipan larik di atas, terdapat penekanan betapa besar perjuangan dan penderitaan Ibu. Penulis lirik menggunakan metafor berupa telapak kaki yang penuh darah dan penuh nanah. Diksi tersebut menunjukkan intensitas penderitaan dan perjuangan seorang Ibu. Namun demikian, Ibu tetap menjalaninya dengan penuh kasih sayang, demi keluarganya, demi anaknya .


3. Simile

Simile adalah gaya bahasa perumpamaan yang menggunakan kata seperti, laksana, bagaikan, dan sejenisnya, untuk membandingkan antara objek yang digambarkan dengan pilihan kata yang digunakan. Gaya bahasa simile yang digunakan penulis lirik lagu Ibu karya Iwan Fals tampak pada kutipan berikut.

/Seperti udara... kasih yang engkau berikan/
/Tak mampu ku membalas...ibu...ibu/


Kasih sayang Ibu yang diberikan kepada anaknya digambarkan seperti udara. Mengapa diksi "udara" dipilih untuk mengibaratkan kasih sayang seorang Ibu?  "Seperti udara... kasih yang engkau berikan". Udara adalah zat yang esensial sebagai syarat untuk hidup, sangat vital, dibutuhkan, banyak tak terbatas, dan tidak berbayar. Tak seorangpun yang sanggup membayar, membalas, atau pun mengganti jasa dan kasih sayang Ibu. Setiap tarikan dan hembusan napas, sepanjang hayat, doa dan kasih sayang Ibu menebar seperti udara ke seluruh atmosfer kehidupan bahkan sampai ke alam baka. Tak ada yang mampu membalas kasih sayang Ibu.


Berikut teks lagu Ibu karya Iwan Fals


Ibu

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh
Lewati rintang untuk aku anakmu
Ibuku sayang masih terus berjalan
Walau tapak kaki, penuh darah penuh nanah


Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas... Ibu... Ibu...


Ingin kudekat dan menangis di pangkuanmu
Sampai aku tertidur, bagai masa kecil dulu
Lalu doa-doa baluri sekujur tubuhku
Dengan apa membalas... Ibu... Ibu....


Seperti udara... kasih yang engkau berikan
Tak mampu ku membalas... Ibu... Ibu....

***