Ini cerpen berjudul Kurir yang bersumber dari kumpulan cerita pendek Antara Wilis dan
Gunung Kelud karya Toha
Mochtar penerbit Djambatan,
1989.
KURIR
Ketika tentara Belanda menduduki Kota K, segera Guru Wandi, Wartawan Mieftah, Mas
Har, dan teman-temannya menggerakkan perlawanan bawah tanah. Mereka menerbitkan
koran stensilan menentang propaganda Belanda yang ditempel di tempat ramai
melalui tangan-tangan yang terdiri dari anak-anak pelajar.
Suara
Republik menganjurkan agar penduduk
mempertahankan berlakunya uang Republik yang menjadi lambang kedaulatan,
menolak kerja sama dengan Belanda, membesarkan hati penduduk
dengan berita-berita yang menunjukkan tetap teguhnya cita-cita Republik
meskipun semua kota telah diduduki musuh.
Wartawan
Mieftah menyadap berita-berita luar negeri melalu radio tuanya Erres di
atas loteng rumahnya, tiap malam, yang disampaikan kepada Guru Wandi, yang akan
melakukan pilihan berita untuk Suara Republik.
Hari ini
datang surat Gubernur untuk Guru Wandi yang dibawa kurir lewat Wartawan
Mieftah. Esok Suara Republik akan muncul untuk pertama kalinya. Itulah hari
pertama Hendra dicoba keberaniannya membawa dokumen penting melintasi
jembatan yang dijaga musuh.
“Sudah siap,
Hen?" tanya Paman Mieftah.
"Siap,
Paman!" sahut Hendra tegas. Hendra ingin seperti Ahmad yang telah
berulangkali dipercaya membawa surat rahasia melintasi jembatan yang
dijaga tentara Belanda. Jembatan tua itu satu-satunya jalan yang menghubungkan
kota timur dan kota barat yang telah diduduki Belanda sejak enam bulan yang
lalu. Perahu tambangan sudah tidak lagi dipakai karena sudah terlalu
banyak yang ditenggelamkan Belanda, dan sudah tak ada lagi orang yang berani
menyeberangi bengawan dengan perahu.
"Yang
kau bawa ini surat yang amat penting dari Bapak Gubernur Samadikun untuk Guru
Wandi. Ditaruh di bawah keranjang yang berisi mangga. Membawa barang rahasia
seperti ini amat berbahaya, Hen. Kalau tertangkap engkau bisa dijebloskan dalam
tahanan. Apa betul engkau tidak takut?"
"Tidak,
Paman. Saya sudah siap."
“Bagus!
Ahmad akan mengikuti dari belakang dengan sepeda juga."
Hendra
menuntun sepedanya keluar halaman, di atas bagasi ada sekeranjang mangga golek,
di bawah buah-buahan itulah ditaruh surat rahasia Gubernur untuk Guru Wandi
yang kelak akan terkenal sebagai pimpinan barisan bawah tanah melawan Belanda
di Kota K.
Dengan
bismillah Hendra meloncat ke atas sadel, dadanya terasa mekar. Ia ingin
teman-temannya menyaksikan, bahwa dia benar-benar telah dipercaya untuk suatu
pekerjaan besar menyelamatkan surat rahasia, dan tak ada lagi orang yang
memandangnya sebagai anak yang masih ingusan.
Beberapa
langkah di belakang, Ahmad mendayung sepedanya dengan kecepatan yang sama.
Ada rasa
aneh yang menjalari tubuh Hendra. Tambah dekat dengan jembatan, detak jantung
bertambah terasa memukul dada, napas terasa sengal sedang kedua kakinya seperti
tidak bertenaga. Apalagi sesudah serdadu Belanda jelas sosoknya berdiri di ambang
jembatan dengan senjata sten, yang tampak penjagaan hari itu berlaku lebih
ketat dan keras. Bukan hanya yang mencurigakan, tetapi semua yang akan
melintasi jembatan, baik yang berkendaraan maupun yang berjalan kaki, diperiksa
dengan teliti.
Begitu datang giliran Hendra, segera
ia mengucapkan "Goedemorgen!" yang jadi terdengar timpang di
telinganya sendiri, biar sudah berulang kali ia hapalkan selama ini. Barangkali
pula suaranya terdengar gemetar yang tak bisa ditahan.
Penjaga ikut menyambut ucapan selamat paginya. Mendadak saja Hendra melihat Ahmad sudah berada di sampingnya, dan temannya itu mengucapkan selamat pagi dalam bahasa Belanda dengan fasih sekali. Ahmad diperiksa dulu, saku dan punggungnya diraba-raba, lalu dibolehkan meneruskan perjalanan. Sesudah itu baru Hendra diperiksa. Tetapi ia tidak seperti Ahmad, ia tidak dibebaskan, serdadu Belanda ini menunjuk gardu. Dengan kaki gemetar ia tuntun sepedanya ke arah gardu dipinggir jembatan. Di situ ada lima serdadu. Dua orang memeriksa keranjang Hendra, membongkar semua isinya, mengangkat lapisan kertas, dari bawahnya terangkat segulungan kertas yang segera dibukanya.
Mendadak saja ada sesuatu yang merayap mengganggu kepala Hendra. Betapa bodoh aku, pikirnya. Tidak hanya sekali dua kali aku dengar penyelundup gerilya yang tertangkap membawa barang penting yang disembunyikan di bawah alas keranjang. Kenapa tidak kubantah rencana Paman Mieftah ini. Kalau pagi ini aku ditembak serdadu Belanda di atas jembatan ini, aku bakal dikenal bukan karena keberanianku, tetapi karena kebodohanku. Alangkah sakit rasanya di hati mengalami mati konyol. Aku sudah sering dengar dari Paman Mieftah berbicara kepada anak-anak, bahwa keberanian saja tidak cukup. Ia harus diikuti dengan pikir dan kerjanya otak.
"Apa ini?" tanya serdadu itu dengan pandangan matanya yang biru. Kalau Paman Mieftah mengajarkannya buat berani menentang mata lawan, Hendra sungguh tak bisa melakukannya. Cuma selintas saja ia bisa menatap matanya yang biru lalu menunduk.
Kertas gulungan itu segera berpindah dari satu tangan ke serdadu lainnya. Lalu seseorang mengangkat telepon.
"Siapa punya surat-surat ini?"
"Itu punya Om saya,Tuan!"
Tidak lama datang jip, seorang opsir turun dan segera memeriksa gulungan surat rahasia itu. Opsir itu lalu tertawa, dan Hendra terkejut setengah mati. Ia memerintahkan anak buahnya buat mengembalikan mangga itu ke dalam keranjang, dan menyerahkan kertas itu kepada Hendra.
"Kasihan," kata opsir itu. “Pamanmu jadi apa, sih?"
"Guru Bahasa Inggris di SMA!”
"Pantas."
Hendra mereka bebaskan. Mengucapkan terima kasih, lalu meloncat ke atas sadel. la dayung sepeda melintasi jembatan dengan kepala tambah berputar-putar. Apakah serdadu Belanda itu sedang mempermainkan diriku, pikirnya, dilepaskan hanya kemudian akan ditembak dari belakang.
Hendra ingin mendayung sepeda sekencang-kencangnya, tetapi daya seperti itu sudah tak ada lagi dalam tubuhnya, dan Jembatan Brantas itu rasanya panjang sekali. Kapan peluru serdadu-serdadu itu akan menembus punggungku dari belakang? Pikirnya.
Barulah Hendra meyakini, bahwa serdadu-serdadu Belanda itu tidak main-main ketika ia sudah membelok memasuki pekarangan rumah Guru Wandi. Ia tidak tahu kapan mengucur keringat dari tubuhnya, sekarang jadi begitu basah dan napas terasa seperti saling berebut membuat dadanya jadi kembang kempis.
Hendra melihat Ahmad duduk menghadap meja kerja Pak Guru. Bu Wandi berteriak dari samping, "Mana mangganya? Bawa sini, biar saya kupas."
Hendra mengangkat keranjang mangga dari bagasi, diserahkannya kepada Bu Wandi, gulungan kertas rahasia diambil dan diserahkannya kepada Guru Wandi. Ternyata gulungan surat itu hanyalah American Miscellany, sebuah buletin yang memuat berita-berita dunia.
Guru Wandi tersenyum. "Engkau masih pucat, Hen! Masih gemetar, ya?" Hendra tersipu.
"Jangan kecil hati," kata Guru Wandi, "Kita tidak begitu saja mendadak jadi pemberani. Perlu latihan, dan perlu juga kita banyak menggunakan kepala kita. Lihat, apa yang dikerjakan Pak Bon!"
Penjaga sekolah itu sedang sibuk membuka ban dalam Ahmad. Ban dalam itu diguntingnya selebar tiga jari, dan dari dalam keluar gulungan kertas surat rahasia Bapak Gubernur untuk Guru Wandi. Pak Bon menyerahkan kertas gulungan itu, lalu menyambung kembali ban dalam, memompa dan membetulkannya.
Dengan cara itulah Paman Mieftah, wartawan Merdeka satu-satunya di Kota K, selalu dapat meloloskan perintah Gubernur melewati jembatan yang dijaga tentara Belanda dengan ketat. Untuk menyambungnya, anak-anak seperti Hendra, Seno, S. Hart, Margono, Natim, Ahmad, dan Irkam menjadi rantai untuk bisa menyeberangi jembatan.
Pagi itu mereka menikmati buah mangga yang sudah siap dikupas oleh Bu Wandi dengan gembira.
Malam harinya, tengah malam, semua pos Belanda mendapat gangguan, hingga suara senjata ramai sekali. Esoknya orang-orang bisa saksikan banyak selebaran yang ditempel di dinding hasil kerja Guru Wandi dan anak buahnya. Itulah, suatu hari di bulan Februari 1949, hari lainnya Suara Republik, satu-satunya koran stensilan yang pernah terbit di daerah pendudukan Belanda, yang dirayakan dengan mengingatkan seluruh penduduk kota, bahwa Republik masih mampu mengadakan perlawanan terhadap musuh.