Tidak hanya sastrawan, penyair, dan ulama asal Madura, D. Zawawi Imron, yang mampu mengangkat nama besar Madura sampai ke tingkat dunia, tetapi juga budaya dan wisata alamnya yang memesona. Sesuai dengan karakter topografi dan geografi Pulau Madura, wisata alam pantai dan perbukitan telah mampu menjadikan Madura sebagai primadona destinasi wisata alam. Berbicara tentang perbukitan, ada salah satu bukit di Pulau Madura yang fenomenal dan masih menjadi perbincangan di kalangan pecinta wisata, yaitu Bukit Jaddih. Disebut Bukit Jaddih karena berada di desa Jaddih, Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan.
Bukit Jaddih merupakan tempat wisata buatan, yang terbentuk tanpa sengaja dari “perundungan” alat-alat tambang tradisional dan peluh perjuangan para penambang batu kapur yang mengais rezeki bertahun-tahun lamanya. Permukaan bukit yang membentuk kontur-kontur unik, artistik, estetis, dan eksotis, seperti yang tampak pada gambar-gambar di sini terjadi secara perlahan karena penambangan batu kapur tersebut.
Lalu, secara alamiah bukit itu membentuk bongkahan, guratan, patahan, pahatan, tebing yang menjulang, kelokan jalan, bahkan dari pengerukan mampu terbentuk kolam berlumut yang terisi air hujan dan berwarna fatamorgana seolah-olah biru, orang menyebutnya Telaga Biru. Selain itu, ada kolam pemandian yang awalnya merupakan lubang galian tambang batu kapur. Kemudian lubang tersebut memancarkan mata air secara alami. Pada akhirnya, lubang galian tersebut direnovasi dan dikelola oleh pemerintah Kabupaten Bangkalan, dan dijadikan sebagai wahana pemandian.
Walhasil, Bukit Jaddih menjadi destinasi wisata unggulan di wilayah Pulau Garam Madura. Terbukti degan banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Bukit Jaddih. Bahkan, Bukit Jaddih telah diminati sebagai lokasi iklan produk-produk papan atas dalam dunia bisnis, baik nusantara maupun mancanegara. Bolehlah datang ke Bukit Jaddih sambil berkhayal tentang Cappadocia Turki atau Grand Canyon Amerika.
Sesuatu akan menjadi lebih indah bila telah ditinggalkan. Demikian juga dengan kenangan di Bukit Jaddih, semakin berlalu semakin terasa indah. Terima kasih kepada Allah swt, saya bersama keluarga pernah mendapat kesempatan menjelajah Bukit Jaddih bersama kawan Ford Everest Club Indonesia pada tahun lalu dan berkolaborasi dengan Komunitas Indonesian Ford Owner. Peserta berasal dari berbagai kota: Malang Raya, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Gresik, Jember, Bangkalan, dan bergabung di meeting point Bangkalan dalam acara sosial. Target capaian kami bukan jarak tempuh terdekat, bukan pula waktu tercepat menuju lokasi Bukit Jaddih, namun tadabur alam dan eksplorasi keindahan perbukitan, serta menikmati kebersamaan kawan komunitas yang kami utamakan.
Kami berhenti beberapa kali untuk menikmati pemandangan dan kebersamaan. Pemberhentian pertama di sepanjang jalan tanah padas, area perladangan dengan vegetasi pohon trembesi dan tumbuhan perdu khas perbukitan. Selaku "RC" dalam tim kami adalah Dharma Sunyata, Ketua Chapter FEvCI Jawa Timur (Sebelum si "gajah" bertransformasi menjadi badak kuning).
Usai menunaikan ibadah salat zuhur, kami lanjut ke puncak bukit melalui jalan bebatuan kapur menanjak dan berkelok. Indah dan menyenangkan. Kami pun berhenti di titik bukit tertinggi menikmati kuasa Allah yang luar biasa. Dari sini, Pulau Jawa terlihat di kejauhan.
Di tempat ini kami bersantap siang bersama dengan menu bebek sambal pecit, (salah satu kuliner yang populer di Pulau Madura). Tak hanya pesona bebatuan yang memikat, keindahan alam sekeliling dapat dinikmati dari puncak Bukit Jaddih. Hamparan lazuardi biru, rerumputan hijau, kebun yang luas dan asri, sungguh mampu menyejukkan hati.
Belum berhenti sampai di sini, kami melanjutkan perjalanan turun menuju telaga biru dengan tebing yang menjulang. Akses masuk menuju telaga biru di kaki tebing itu harus melewati tepian telaga yang tergenang air dan mobil kami berenang tipis-tipis.
Sampai di telaga ini, kami parkir di kaki tebing dengan mocong mobil menghadap ke danau menyerupai gajah minum atau seperti kapal yang bersandar di dermaga. Sedangkan anak-anak bermain rakit bambu mengelilingi permukaan telaga.
Apabila Anda datang (kembali) ke sini, jangan berharap bisa menemukan tebing ini. Seminggu setelah kedatangan kami, Radar Madura mengabarkan bahwa tebing ini sengaja dirobohkan oleh pihak manajemen karena dipandang berbahaya dan rawan longsor.
Hanya waktu yang mampu mengingatkan kami akan jalan pulang. Setelah matahari condong dan redup sinarnya menerobos awan sampai ke bumi, lalu membias pada genangan air di tanah berair, kami bersiap untuk kembali ke daerah masing-masing. Salam perpisahan dilakukan di pemberhentian terakhir, berbagi salam, berbagi doa, dan … sampai jumpa dalam kebersamaan berikutnya. Semoga selalu sehat, ada umur, ada kesempatan, ada rezeki yang berkah, dan tetap semangat untuk saling berbagi.
Selamat berpisah, kawan...
Insya Allah bersama lagi dalam ajang silaturahmi...
April siyap siyap blakrakan lagi ke Bromo ya ning Lis...... Badak silver dimandiin kembang dulu ben ghak ngebul kampas rem nya....😁
BalasHapusHiiihihihihihhihhhhh
BalasHapusWaaaah Cak Faried mengungkit kenangan lama, tak tulise mari ngene kenangan harum kampas rem.