Seorang teman berkabar: "Kakek telah berpulang."
Aku tersentak, sejenak kutunduk menadahkan tangan
Doa indah kulantunkan untuknya, untuk Kakek Pejuang.
Cukup bagiku memanggilnya Kakek Pejuang, dan kesan pun
sangatlah dalam.
Sejak saat itu, saat pertama bertemu, bertahun-tahun yang lalu
Saat dikisahkan padaku tentang suatu masa.
Masa revolusi kemerdekaan
Demi terbebasnya negeri dari tirani
“Demi harga diri sebuah bangsa, demi kedaulatan yang ingin
dicabik kembali”, kata Kakek Pejuang penuh semangat, dengan suara tegas dan
tatapan yang menyala-nyala dalam usia yang telah meredup senja.
Perjuangan tak hanya merebut kemerdekaan, tetapi
mempertahankannya kembali dari Agresi Militer Belanda. Lalu, berkisahlah Kakek tentang zaman perjuangan, tentang kehidupan rakyat di masa penjajahan, tentang para lelaki yang bermarkas di hutan, tentang taktik pembumihangusan, tentang segala cerita pada masa itu, tentang....
Dan kami pun tenggelam dalam samudera cerita Kakek Pejuang...
Dan kami pun tenggelam dalam samudera cerita Kakek Pejuang...
Kisah Kakek Pejuang memberi kilatan padaku
Tentang tokoh Pak Mantri dalam peristiwa Daerah Tak Bertuan
Ia pun tak perlu dikenal nama, semua orang memanggilnya Pak Mantri
hanya karena ia seorang pensiunan mantri
garam. Dihabiskan sisa usianya untuk berjuang di daerah tak bertuan, antara
Surabaya, Gresik, Lamongan, Malang, Jombang, Mojokerto, dan Kediri.
Suatu saat ia mendapat perintah rahasia dari Kaelani, Komandan Pasukan Liar, untuk
mengantar sekampil permata sebagai dana perang gerilya pasca kemerdekaan ke
Markas Pertahanan RI di Mojokerto dengan pengawalan Truno, seorang bekas
penjahat yang pernah dipenjarakan di Nusa Kambangan. Truno sama sekali tidak
mengetahui untuk apa ia ditugaskan. Di tengah perjalanan, di antara pematang sawah, Truno menghentikan
langkah Pak Mantri dan bertanya, untuk apa dia mengawal tugas ini. Ia memaksa Pak
Mantri untuk menjelaskannya. “Jika saya harus mati, saya akan mati dengan
ikhlas Pak Mantri, tolong jelaskan untuk apa saya mengawal Pak Mantri”. Walaupun
awalnya sempat curiga kepada Truno yang bisa saja membunuhnya lalu membawa lari
permata yang dibawanya. Namun Pak Mantri mampu menghadapi dengan tenang dan menjelaskan tentang tugas
rahasia tersebut kepada pengawalnya itu.
Kepercayaan itu mampu meluluhkan hati Truno. Ia menangis sambil memeluk
erat tubuh Pak Mantri dan bersumpah untuk setia mengawal Pak Mantri sampai ke tujuan. Sesaat
kemudian, belumlah mereka berdua melanjutkan perjalanan ke tujuan, terdengar bunyi
pesawat musuh terbang rendah bergemuruh dan mendesing. Mortir dijatuhkan dari
pesawat musuh dan meledak persis di dekat mereka berdua. Truno mengerang
terkena pecahan mortir dan ia menghembuskan napas terakhirnya.
Akhirnya tugas berat membawa amanah tersebut dilaksanakan Pak Mantri
seorang diri setelah Truno gugur. Dengan semangat tetap menyala ia berjalan kaki melintasi daerah tak bertuan, daerah
yang tidak dikuasai oleh salah satu pemerintahan, baik Pemerintah Indonesia
maupun Pemerintah Hindia Belanda dalam agresi militernya. Pak Mantri berhasil dengan
selamat menyerahkan sekampil permata sesuai dengan tujuan.
Pak Mantri tertegun. Kematian Truno sangat berkesan dan membekas di
hatinya. Ia pun bertekad untuk menebus kematian Truno dengan menyelinap ke daerah
pendudukan untuk membuat peta lebih sempurna. Ia memohon
izin kepada Komandan Kaelani untuk melengkapi peta daerah seberang sungai Cerme
yang dikuasai tentara Ghurka-Inggris. Ia akan menyelundup ke sana sendirian. Dalam rerimbun kebun tebu, ia
mengikuti jejak kaki yang besar, jejak kaki musuh.
Namun tekad dan keberaniannya berakhir sangat memilukan. Pak Mantri berpapasan dengan lawan sendirian, ia mengacungkan pistol Colt ke arah si Mata Biru, namun senjata canggih Tommy Gun lebih dahulu melesatkan peluru ke dada Pak Mantri. Tembakan itu terdengar sampai ke Daerah Tak Bertuan. Dan mereka semua, pasukan Pejuang Liar, mengetahui apa artinya itu. Pak Mantri telah gagal menjalankan misi rahasianya. Pak Mantri gugur dalam pertempuran tak seimbang melawan serdadu Ghurka.
Namun tekad dan keberaniannya berakhir sangat memilukan. Pak Mantri berpapasan dengan lawan sendirian, ia mengacungkan pistol Colt ke arah si Mata Biru, namun senjata canggih Tommy Gun lebih dahulu melesatkan peluru ke dada Pak Mantri. Tembakan itu terdengar sampai ke Daerah Tak Bertuan. Dan mereka semua, pasukan Pejuang Liar, mengetahui apa artinya itu. Pak Mantri telah gagal menjalankan misi rahasianya. Pak Mantri gugur dalam pertempuran tak seimbang melawan serdadu Ghurka.
”Esok harinya Pak Mantri keluar dari
markas kecil itu menuju daerah tak bertuan. Di pundaknya
tergantung granat kuning pada epolet
dan pistol colt jepang terselip di
lipatan sarung yang diikatkan di
pinggangnya. Topi mendong dibenamkan di kepalanya, usianya yang renta, mukanya
penuh keriput, mata kecil dan cekung, merupakan tameng yang baik untuk
mengelabui serdadu Ghurka. Dengan kaki yang teguh Pak Mantri menyelinap di
antara rumpun-rumpun yang lebat. Ia pasrahkan hidup dan matinya kepada Tuhan.
Ketika tangannya yang kering itu menarik pistol di pinggangnya, tembakan Tommy Gun lebih dahulu menembus dadanya.
Serdadu Ghurka itu terkejut melihat lawannya seorang diri. Topi mendong yang
terlepas dari kepalanya menyembulkan rambut kelabu di balik destarnya. Air muka
yang hitam, kering, dan keriput oleh terik matahari, usia, dan derita. Lelaki
tua berdrill coklat tak berdaya itu berlumuran darah. ”
Selamat
jalan Kakek Pejuang, beristirahatlah bersama para Syuhada Perang Kemerdekaan...
Terima
kasih telah memberiku kisah yang penuh inspirasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar