24 Februari 2019

NOL KILOMETER BRANTAS DI ARBORETUM


Informasi penting
Air yang mengalir menuju Kali Brantas berasal dari mata air (sumber) yang berada di dalam kawasan Arboretum Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, di kaki Gunung Anjasmoro dengan ketinggian sekitar 1500 mdpl. Siapa yang menyangka bahwa Kali Brantas yang besar itu adalah tempat luberan air dari sumber yang kecil ini. Walaupun tak menafikan bahwa Kali Brantas juga mendapat tambahan volume air dari berbagai sungai kecil dan mata air lain yang aliran airnya bermuara ke Kali Brantas.

Arboretum dalam satu sudut pandang
Mata air Brantas tersebut berada dalam cekungan di antara tebing batu, terbentuk menyerupai kolam kecil, tanpa semburan, namun volume air selalu bertambah dan tumpah menuju sungai kecil, lalu mengalir sampai jauh ke Kali Brantas. Permukaan kolam tampak tenang. Airnya sangat jernih dan dingin seperti air es dari kulkas, bahkan saat diisikan ke dalam botol pun langsung mengembun. Kata Mas Angga (Pegawai Jasa Tirta), mata air ini belum pernah mengering. Saya jadi teringat Zam-Zam dan berkata: "Sumber Brantas saja seperti ini, apalagi sumur Zam-Zam?"  Maha Besar Allah dengan segala kuasa-Nya. Masya Allah..

Inilah 0 KM Sumber Brantas
Apakah sebenarnya makna kata Arboretum? Dalam khasanah bahasa Indonesia, arboretum dikenal sebagai kata serapan yang berasal dari bahasa asing dan telah terdaftar dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dengan penjelasan sebagai berikut.

ar.bo.re.tum /arborétum/

  • n tempat berbagai pohon ditanam dan dikembangbiakkan untuk tujuan penelitian atau pendidikan
Arboretum menyerupai Kebun Raya, namun berbeda karena ukuran. Kebun botani dalam ukuran sangat luas disebut Kebun Raya. Walaupun tidak seluas Kebun Raya, Arboretum Sumber Brantas ini telah menyerupai perpustaakan tumbuh-tumbuhan yang memiliki berbagai koleksi botani beraneka jenis termasuk tanaman dan tumbuhan langka. Bahkan terdapat pohon Pinus Parana yang ditanam oleh  Roedjito Dwidjomestopo sebagai buah tangan atas keikutsertaan pada Konferensi Bumi pada bulan Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. 

HAS Go Green
Arboretum Sumber Brantas merupakan kawasan Konservasi Sumber Daya Alam di bawah naungan Perum Jasa Tirta I, Divisi Jasa Air dan Sumber Air (ASA) I (dengan Direktur Raymond Valiant Ruritan yang juga Alumni SMAN 8 Malang d.h. SMA PPSP). Sebagai kawasan konservasi, Arboretum Sumber Brantas ini tidak dibuka untuk umum. Namun demikian tetap terbuka untuk kegiatan penelitian, edukasi, dan kegiatan-kegiatan lain yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan, seperti yang dilakukan oleh HAS (Himpunan Alumni Smarihasta) pada saat ini (Minggu, 24 Februari 2019). 

Bersama Bertahun-Tahun
Kami berempat (saya, Sasongko, Liliek Triani,  dan Heri Sudjatmi) adalah delegasi dari sekolah untuk menghadiri undangan HAS yang diketuai Mas Arifianto Tak Pernah Layu beserta jajarannya termasuk Nawang Sari Cikhal, juga kawan HAS lainnya Trianko Hermanda, dll. Aksi lingkungan ini sebagai salah satu bakti Alumni kepada kampus Smarihasta untuk kelestarian alam, yang merupakan rangkaian kegiatan peringatan HUT ke-46 SMA Negeri 8 Malang tanggal 20 Februari 1973-2019.

Ilalang di Lereng Bukit
Sebagaimana yang tertulis, HAS Go Green ini bertajuk "Lestarikan Hutan dan Ekosistem Hulu DAS Brantas". Kegiatan yang dilakukan pada momen ini yaitu penanaman 500 pohon Cemara Gunung (Coniferae) di Bukit Cemara kawasan Arboretum Sumber Brantas. Aksi tersebut bekerja sama dengan Perum Jasa Tirta. HAS juga melibatkan berbagai pihak termasuk Y37 (Alumni SMAN 8 Malang saat masih bernama SMA PPSP) di antara yang hadir adalah Haryono Roestam, Totok Toufan, beserta jajarannya. (Sedikit flash back, bhakti kampus yang dilakukan Y37 pada saat ulang tahun Smarihasta adalah General Check Up kesehatan bagi para guru purna tugas, karyawan, dan sesama alumni).

Lereng Bukit Cemara
Pada kesempatan ini saya merasa sangat senang. Selain bisa menambah wawasan dan berliterasi alam, di antaranya juga dapat mempererat silaturahmi dengan para Alumni Smarihasta-Y37. Terlebih lagi, bisa bertemu kembali dengan para sahabat yang menjadi kontjik kewarasan, yaitu Andi Gondronk, Ary Bowie, Hermanto sang Fotografer andal, dan Rifka Jasmina. 


SEKILAS INFO TENTANG Y37 DAN HAS

SMA Negeri 8 Malang merupakan jejak sejarah Proyek Perintis Sekolah Pembangunan  (PPSP) IKIP Malang yang diresmikan  pada tanggal 20 Februari 1973. Pada tahun 1986 SMA PPSP IKIP Malang dialihkelolakan kepada Ditjen Dikdasmen Depdikbud Provinsi Jawa Timur guna penertiban pengelolaan sekolah negeri. Sejak saat itulah SMA PPSP IKIP Malang berganti nama menjadi SMA Negeri 8 Malang. Seiring berjalannya waktu, sekolah ini lebih dikenal dengan sebutan Smarihasta.

Jejak sejarah itulah yang menjadikan SMAN 8 Malang memiliki dua Ikatan Alumni yaitu Y37 dan HAS. Y37 adalah Ikatan Alumni SMA PPSP IKIP yang dibentuk pada tahun 1978. Nama  Y37 diambilkan dari huruf Y dan angka 37 dari nama jalan dan nomor sekolah tersebut, yang pada saat itu berada di Jalan Yogyakarya Nomor 37 Kota Malang. (Yang kemudian berubah nama menjadi Jalan Veteran dengan nomor tetap yaitu 37). Sedangkan HAS (Himpunan Alumni Smarihasta) dideklarasikan pada tanggal 14 Juli 2012. Nama Smarihasta terdapat pada logo SMAN 8 Malang yang bertuliskan: Bhaskara Smarihasta (Bhawana Satya Karya Anugraha Semangat Mandiri Harapan Semesta).  Sampai kini Y37 dan HAS tetap eksis dan solid walau telah menyebar di berbagai kota bahkan di luar negeri. Baik Y37 maupun HAS selalu intens bermitra dengan sekolah serta berpartisipasi aktif dalam memberikan dukungan terhadap pelaksanaan program  sekolah.
***



17 Februari 2019

Jalan-Jalan ke Buduk Asu


Sebagian masyarakat Malang Raya dan sekitarnya tentu tak asing lagi dengan Buduk Asu, akan tetapi tidak dapat dipastikan bahwa sebagian masyarakat tersebut mengetahui lokasi atau pun suasananya. Buduk Asu, suatu tempat di wilayah Kabupaten Malang yang  namanya disebut dalam legenda. Konon, pada zaman dahulu banyak anjing (asu) yang mati karena wabah penyakit buduk (lepra, gatal-gatal) dan dibuang/dikubur di bukit yang terletak 2000 mdpl tepatnya di lereng Gunung Arjuno. Bukit itulah yang kemudian dinamakan Buduk Asu.
Simer The Leader
Walaupun sudah berkali mendaki Gunung Arjuno sampai ke puncak Ogal-Agil, saya belum pernah sekali pun ke Buduk Asu. Naaah... hari ini saya mendapat kesempatan yang sangat berharga dari para sahabat NGALAM HORE yang notabene adalah offroader, yaitu Doddi Indra Susantya, Riff Sugiarto, dan teman-teman dari komunitas VES, yang secara kebetulan juga berbarengan kawan-kawan Tawon Rimba. Sebenarnya kami juga bersama dengan Meirizal dan rombongan motor trail, tapi karena bersisipan di jalan, kami tak sempat bertemu. 

Ini adalah kali pertama saya ke bukit Buduk Asu. Dan saya tidak membiarkan perjalanan ini hanya dikenang dalam ingatan, akan tetapi saya mencoba mengabadikan dalam tulisan di sini. Meskipun tak banyak kekayaan narasi yang mampu tersaji, biarlah gambar-gambar ini bertutur dan menyatu dalam imajinasi para pembaca, syukur-syukur jika bisa dijadikan sebagai media  literasi alam per-blakraan.
 


Dari Kota Malang kami berangkat pukul 08.30 WIB melalui jalur desa Toyomarto Singosari. Perjalanan sedikit terhambat karena ada hajatan warga yang menutup jalan di desa terakhir sebelum memasuki “gerbang” menuju Buduk Asu.  Walaupun sempat putar balik mencari jalur alternatif, kami menemukan jalan yang sedikit melambung namun bisa terhubung kembali dengan jalan yang seharusnya kami lalui.
 Baru beberapa meter meninggalkan  perkampungan, jalan tanah menyerupai kubangan kerbau telah menghampar di antara kebun penduduk. Sejak di tempat inilah four-wheel drive dioperasikan. Beraneka pemandangan alam pedesaan silih berganti kami lalui, mulai dari semak belukar, rumpun bambu, sampai dengan trowongan alami yang terbentuk dari rimbun pepohonan. Tumbuhan liar berjajar di sepanjang jalan semacam barikade di kedua sisi jalan dengan kontur permukaan yang tak rata, bukan sekadar bergelombang. Sesekali kami harus berbagi jalan dengan para Crosser atau Biker yang berpapasan dan saling tegur sapa ramah, sangat mengesankan.


Pukul 09.42 WIB kami memasuki Pergola Beringin, seolah pintu gerbang berupa pohon beringin di sebelah kanan dan kiri yang rerantingnya berpaut menyerupai pergola. Jalan meliuk, menanjak, menurun adalah bagian dari tujuan dan harapan kami.
 
Medan berseling antara tanah liat yang licin, bebatuan lepas, sampai dengan patahan-patahan  jalan yang tampak penampangnya. Bekas gilasan roda-roda yang terus menggerus tanah membentuk sepasang anak sungai. Jalur berlumpur pun menjadi keasyikan tersendiri, seperti tampak pada video berikut.
Satu jam kemudian kami memasuki kawasan perkebunan kopi, berbatasan dengan hutan pinus yang berjajar indah dengan pucuk-pucuk daun berwarna hijau kekuningan. Ketika Simer alias Angpo (tidak hanya manusia, mobil juga punya nama samaran) terus berjalan, kami berhenti sebentar untuk cekrak-cekrek mengambil gambar,sebagaimana pesan: "Jangan meninggalkan apa pun selain jejak, dan jangan mengambil sesuatu kecuali gambar"

Setelah melewati hutan pinus kami menjumpai tiga gazebo beratap sirap yang pada saat itu digunakan sebagai tempat rehat para pendaki dan crosser. Dari jauh tampak berderet air mineral kemasan di gazebo tersebut, mungkin sejenis warung.


Tak jauh dari tempat ini, kami tiba di Loket/Pos namun kosong, tak satu pun petugas di sana. Setelah berhenti sebentar dan ngecek jalur di depan, perjalanan pun dilanjutkan dengan memasuki gerbang kayu.


Di depan tempat kami berhenti itu, ada gapura yang dibuat dari tumpukan kayu dengan sepasang umbul-umbul merah putih di kanan dan kiri yang sekilas menyerupai terowongan. Ke arah terowongan itulah kami melanjutkan perjalanan menuju puncak Buduk Asu sambil berkhayal tentang Lorong Waktu.


Ekstrem itu relatif, bergantung pada sudut pandang orang dengan pengalaman dan jam terbang yang berbeda. Namun bagi saya, memasuki terowongan itu adalah awal perjalanan dengan medan yang ekstrem.
 
Vegetasi tak lagi kebun dan ladang, namun sudah kawasan hutan belantara. Suara nyaring gerombolan serangga Garengpung/ Tonggeret/ Cenggeret mempertegas suasana hutan tropis yang khas, biasanya menjadi penanda musim penghujan akan berakhir.

Tantangan selanjutnya berada di Tanjakan Pytax. Hambatan makin bertambah. Beberapa batu besar tergelempang di jalan dalam balutan tanah licin. Cekungan tanah semakin dalam. Jenis tanah semakin liat dan licin. Akar dan batang pohon mengarah ke jalan. Badan jalan menyempit.

Di Tanjakan Pytax itulah roda depan Simer terjerembab di obstacle, yakni terperosok ke dalam lubang dengan akar pohon menghadang di depan. Akhirnya winching pun dilakukan. Di sinilah muncul jiwa korsa. Teman-teman segera turun tangan dan membantu mencarikan winch point. Jadi teringat kata-kata Ndorone Simer: "Di tempat seperti ini uang tidak laku, yang diperlukan hanyalah persahabatan/persaudaraan yang tulus"



Jika dibandingkan dengan jalur ekstrem lain, sesungguhnya ini merupakan jalur yang "aman" menuju puncak Buduk Asu. Karena pada beberapa simpang jalan kita bisa menentukan pilihan. Kanan atau kiri. Tingkat kesulitan sedang ataukah tinggi. (Dan saya selalu mengusulkan untuk memilih yang aman-aman saja). Seaman-aman jalur yang ditempuh, ya seperti itu kenyataanya. Tidak mudah dilalui. Akan tetapi, memang inilah yang sesungguhnya dicari.

Dari titik ini menuju puncak Budug Asu hanya sekitar lima ratus meter. Tapi, siapa yang bisa menjamin jarak tersebut bisa tertempuh sekian menit? Karena ada kalanya jarak tempuh tidak bersahabat dengan waktu tempuh. Kesulitan di tempat ini adalah tingkat kemiringan jalan, licin, menanjak berkelok, dan sisi jalan berbatasan dengan jurang. Semak belukar dengan batang keras pun menutup jalan.

Namun, saat saya melihat bendera merah putih berkibar di ujung tiang, hmmmm perasaan makin gembira. Itulah puncak bukit Buduk Asu. Saat tiba di puncak, cuaca sangat cerah silih berganti dengan kabut yang berarak dan berpindah sesuai perintah angin. Sabana menjadi lanskap alam yang menghampar indah, sungguh elok dan eksotis. Udara sejuk bercampur uap air terasa ion-ion negatif yang mampu mensuplay energi positif bagi tubuh manusia. Panorama pada satu sisi tampak lembah/ngarai dan tebing terjal yang menantang jiwa muda untuk meraih poin demi poin pada dindingnya. Di balik kabut itulah sebenarnya letak Gunung Arjuno yang megah, namun hanya terlihat samar karena kabut yang selalu berarak. Sedangkan di sisi lain hamparan kebun teh juga menggigil dalam selimut kabut, jadi teringat cerita dalam sebuah novel picisan.

Sayang sekali di puncak bukit Buduk Asu ini banyak fasilitas yang rusak. Gazebo tempat istirahat roboh tertimpa pohon. Warung tutup (menurut info teman-teman, biasanya warung tersebut buka tiap hari Sabtu, Minggu, atau hari libur lainnya). Toilet kehilangan air, bahkan tak lagi berdinding. Spot-spot foto mulai merapuh, termasuk gardu pandang berbentuk kepala anjing pun tak terawat. Tentu hal ini mengurangi nilai Buduk Asu sebagai destinasi wisata pegunungan yang banyak digandrungi masyarakat tertentu, khusunya para offroader, crosser, pendaki, dan kaum muda pada umumnya.

Setelah beberapa saat istirahat di puncak bukit sambil berbincang sana-sini dan menikmati bekal logistik kecil-kecilan, kami meninggalkan Buduk Asu. Dalam perjalanan turun ini, beberapa kali berhenti di  jalan sempit dan curam, bahkan harus mundur menanjak untuk memberi kesempatan  rombongan trail agar mereka bisa lewat. Saat saling tergur itulah diketahui bahwa mereka berasal dari Surabaya.
Di simpang jalan, kami memilih rute yang berbeda dengan jalur ketika berangkat. Berangkat lewat  rute Toyomarto, Singosari dan pulang melalui kebun teh area BBIB (Balai Besar Inseminasi Buatan) Desa Sumberawan-Songsong-Singosari. Jalur ini melintasi sungai kering dan tanjakan yang menikung dengan material bebatuan lepas.

 Memasuki kawasan kebun teh, kami berhenti sebentar dan cekrak-cekrek lagi. Pada saat berhenti itulah four-wheel drive tak digunakan lagi karena telah memasuki jalur datar (Dahulu, saat masih senang naik gunung, bidang datar dalam pendakian itu saya sebut dengan istilah "Jalur Alhamdulillah")

Petualangan hari ini pun usai. Kami berpisah di jalan dan menuju rumah masing-masing. Terima kasih para sahabat. Terima kasih oh Allah yang Maha Baik. Semoga keberkahan senantiasa tercurah pada kami dan para sahabat dalam segala kebaikan, juga berkah usia. Agar bisa senantiasa bertadabur alam bersama. Aamiin.