29 Agustus 2008

Aku Terpenjara

Putih...

Gelap...

Gelap namun tak hitam

Tak hitam tapi tak kuasa memandang

Visibilitas terbatas

Aku terpenjara 

Dalam pusaran 

Putih

 

Alam yang luas itu seketika sempit

Hanya aku

Objek pandang yang tertangkap sorot mataku sendiri

Ke mana arah?

Tak satu pun petunjuk

Di mana rimba hijau dan langit biru?

Hanya putih


Dingin...

Serasa darah melambat dalam aliran

Tubuh gemetar dalam gigil mencari tungku api


Takut...

Makin sadarkan bahwa diri tak kuasa

Seolah tlah datang janji-Mu

Tatkala bumi yang kupijak

Kau gulung dari hamparan


Masa yang mengerikan

Karena kutahu

Bahwa diriku belum pandai meraih cinta-Mu


Tuhan...

Aku terpenjara


Embun


Ilmu Untuk Diamalkan 
(Pencerahan dari seorang teman maya) 

Setelah saya memperhatikan, hanya sedikit para ulama dan kalangan terpelajar yang mempunyai kesungguhan. Di antara tanda kesungguhan adalah mencari ilmu untuk beramal, sementara kebanyakan dari mereka menjadikan ilmu hanyalah sebagai alat untuk mencari pekerjaan dan mengejar kedudukan. ....
Mereka berbondong-bondong mencari ilmu agar diangkat menjadi hakim atau hanya ingin membuat dirinya sekadar berbeda dari orang lain dan merasa cukup dengan hal itu. (Imam Ibnu al-Jauzy). Ilmu yang Bermanfaat Marilah kita memohon kepada Allah ilmu yang bermanfaat untuk kita, karena itulah sumber pengetahuan yang baik. Tatkala kita memiliki ilmu yang berguna, kita pasti mengenal Allah dengan cara yang benar dan kita akan tergerak untuk bekerja sesuai dengan syariat-syariat-Nya dan dengan cara yang diridhai-Nya. Kita pun akan senantiasa dituntun kepada jalan keikhlasan. Asal-muasal segala sesuatu adalah ilmu, dan ilmu yang paling bermanfaat adalah melihat/ membaca perjalanan hidup Rasulullah dan para sahabatnya. Allah berfirman, "Mereka adalah orang-orang yang Allah beri petunjuk, maka ikutilah jejak hidayah mereka." (QS. al-An’am [6]: 90). (Imam Ibnu al-Jauzy)

Instrospeksi Diri 
Kekurangan dan kelebihan seseorang akan tampak jika kita terus-menerus menginstropeksi diri. (Imam Ibnu al-Jauzy) Imam Ibnul Qayyim pernah membahas firman Allah Swt. yang artinya, "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa melihat apa yang ia lakukan untuk hari esok. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kalian lakukan." (QS. Al-Hasyr: 18). Imam Ibnul Qayyim mengatakan, bahwa perintah Allah dalam ayat tersebut mengandung anjuran kepada setiap orang untuk dua hal. Pertama, mengevaluasi diri masing-masing. Dan kedua, melihat dan menghitung apakah perbekalan yang telah ia persiapkan di dunia sudah cukup saat ia bertemu dengan Allah atau belum. 

Jangan Berputus Asa 
Janganlah berputus asa karena ia bukan akhlak kaum muslimin. Hakikat hari ini adalah impian hari kemarin, dan impian hari ini adalah kenyataan hari esok. Kesempatan masih luas dan unsur-unsur kebaikan masih kuat dan besar dalam jiwa kalian yang mukmin, meskipun tertutupi oleh berbagai fenomena kerusakan. Yang lemah tidak selamanya lemah, dan yang kuat tidak selamanya menjadi kuat. (Imam Hasan al-Banna) 

Jiwa yang Senantiasa Sadar dan Waspada 
Andaikata jiwa terus sadar dan waspada, maka ia akan terus melakukan yang terbaik. Jika tidak, maka ia akan terjebak pada perasaan bangga, ketakaburan, dan sikap meremehkan orang-orang lain. Akhirnya, ia akan berkata, "Aku telah memiliki segalanya, aku berhak untuk berbuat apa saja!" Orang seperti itu akan membiarkan hawa nafsunya terjun ke dalam dosa-dosanya. Padahal, kalau saja ia berdiri di pantai kerendahan hati dan jiwa pengabdian pada Allah, akan selamatlah ia. (Imam Ibnu al-Jauzy). 

Kebijaksanaan Orang-Orang Bijak 
Di antara kebijaksanaan orang yang bijak, hendaknya ia memberi keleluasaan hukum kepada temannya, sedang untuk dirinya memilih hukum yang sempit. Sebab, keleluasaan bagi mereka sebagai bentuk penyertaan ilmu. Sedangkan penyempitan untuk dirinya sendiri sebagai aturan wara’. (Imam Ruwaym bin Ahmad) 

Kendala yang Dihadapi 
Orang yang Menuju Allah Kendala pertama yang dihadapi oleh orang yang menuju Allah adalah kendala ilmu (Imam al-Ghazali) 

Keberanian
Keberanian yang terpuji adalah didasari ilmu dan perhitungan, bukan tatawwur (nekat dan ngawur). Karena itu, orang yang kuat dan perkasa adalah orang yang mampu mengendalikan diri ketika marah hingga dapat melakukan yang mengandung kemaslahatan dan meninggalkan yang tidak mengandung maslahat. Sedangkan orang yang emosional bukanlah pemberani dan juga bukan orang kuat. (Imam Ibnu Taimiyah) 

Kemenangan
Sesungguhnya sebuah pemikiran (fikrah) akan menang bila keimanan padanya kuat, keikhlasan untuk memperjuangkannya terpenuhi, semangat untuk menegakkannya bertambah, dan kesiapan untuk berkorban dan beramal untuk merealisasikannya selalu tersedia. (Imam Hasan al-Banna) 

Kekuatan 
Niat dan Motivasi Jika seseorang datang ke sebuah majelis, hendaknya ia hadir bukan karena lapar, tetapi atas niat dan motivasi yang baik dan harus melupakan niatan-niatan duniawi. Saat itulah hatinya dapat menerima nasehat-nasehat, sehingga ia sadar atas apa yang pernah diperbuatnya dan tertarik untuk melakukan apa yang diketahuinya baik. Ia akan bangkit di atas perahu makrifat-nya. Saat itulah hati mulai sadar atas perbuatan-perbuatan buruk yang pernah dilakukannya, sehingga ia menyesal dan keingintahuannya semakin bertambah besar. (Imam Ibnu al-Jauzy)

Adi Kili dan Burung Brenggi

Dongeng Masa Kecil


Dahulu, ketika masih kecil, saya sering tidur di rumah Budhe. Rumah beliau berada di depan rumah orang tua saya. Saya memanggil beliau ”De Neng”, nama yang pernah tertulis dalam lembar persembahan karya tulis saya, sebagai ”permata kehidupan yang mengalirkan doa-doa”. Beliau selalu mengisahklan dongeng sebelum saya tidur, dongeng yang sama setiap saya tidur bersamanya. Dan dongeng itu tak pernah lekang dalam ingatan saya sampai sekarang, walaupun saya telah meninggalkan beliau selama 30 tahun. Saya tulis dongeng ini sebagai pelampiasan rindu kepada orang yang selalu mengalirkan doa-doa. Beginilah kisah dalam dongeng itu...


Syahdan, pada zaman dahulu kala di tepi hutan, hiduplah dua orang yatim piatu kakak beradik yang tinggal di sebuah gubuk. Sang kakak bernama Mantri dan sang adik bernama Kili. Kili memanggil kakaknya dengan sebutan ”Kang Mantri”, sedangkan Mantri memanggil adiknya dengan sebutan ”Adi Kili”. Pada suatu hari mereka berdua sepakat untuk berpisah karena ingin memperbaiki nasib kehidupanya. Kang Mantri hendak pergi bekerja ke kota dan meninggalkan adiknya sendiri di gubuknya. Dalam hati sesungguhnya ia tidak tega meninggalkan Adi Kili, satu-satunya orang yang disayanginya di dunia ini. Tapi apa boleh buat, ia ingin membahagiakan adiknya dengan mencukupi kebutuhan hidup yang memadai. Oleh karena itu ia mempersiapkan sesuatu untuk membatasi waktu kepergiannya.


”Adi Kili, sebentar lagi Kang Mantri akan pergi. Terimalah biji belimbing manis ini. Jika Kang Mantri berangkat, tanamlah biji belimbing ini di depan gubuk kita. Kelak jika pohon belimbing telah berbuah, panggilah Kang Mantri. Beritahukan bahwa pohon belimbing manis telah berbuah. Kang Mantri pasti merasakan panggilanmu dan segera pulang”. ”Baiklah Kang mantri, Adi Kili akan menlaksanakan tugas ini”.


Maka berangkatlah Kang Mantri meninggalkan Adi Kili. Tanpa menoleh sekejap pun kepada adiknya ia berjalan lurus dengan mata yang tergenang. Sedangkan Adi Kili menatap kepergian kakaknya dengan mata bekerjap-kerjap dan mengalirlah air mata gadis itu. Bibirnya terkatup tanpa isakan. Setelah kakaknya hilang dalam pandangan, Adi Kili menanam biji belimbing manis yang sejak tadi dalam genggamannya.


”Biji belimbing, aku tanam kau dengan cinta dan harapan, tumbuhlah! Kang Mantri akan datang jika kau tumbuh dan berbuah”. Sambil tersimpuh di tanah, air mata Adi Kili menyiram biji belimbing yang ditanamnya.
Setiap saat, tidak pandang pagi, siang, atau sore Adi Kili memeriksa tanaman belimbing manisnya. Dan biji belimbing itu tumbuh menjadi pohon yang subur. Begitulah kecintaan Adi Kili terhadap kakaknya ditumpahkannya kepada pohon belimbing manis agar senantiasa tumbuh subur dan berbuah.


Bulan berganti bulan, tahun pun berganti entah telah berapa kali. Dan telah sampailah pada waktunya pohon belimbing berbunga. Adi Kili sangatlah girang hatinya, dengan sabar ia menunggu bunga-bunga itu menjadi buah karena dengan demikian ia akan bertemu dengan Kang Mantri, kakaknya yang dinanti-nantikannya. Dalam hitungan hari bunga-bunga belimbing itu luruh dan muncullah buah belimbing yang mungil. Mata Adi Kili berbinar-binar, senyumnya mengembang. Maka ketika buah itu telah membesar, Adi Kili memanggil kakaknya dalam nyanyian...


” Kang Mantriii..., pohon belimbing manis telah berbuah... Kang Mantri...
Kang Mantriii..., pohon belimbing manis telah berbuah...Kang Mantri...”
Begitulah suara Adi Kili terus menerus dalam nyanyiannya. Apabila merasa capai, ia pun berhenti dan memanggil lagi sampai sayup-sayup suaranya dibawa angin.


Alkisah, ada seekor burung raksasa yang selalu berbunyi ”brenggiii....” dan oleh karena suaranya yang seperti itu maka orang menyebutnya burung brenggi.Burung brenggi merasa terganggu oleh suara Adi Kili. Ia mencari sumber suara dengan amarah yang membuncah di kepalanya. Sementara Adi Kili tetap dalam lantunannya. Akhirnya...


”Bag, kabag, kabag...” Burung itu mengepakkan sayapnya yang besar dan berbunyi ”Brenggiiii....Ooo..., ternyata kau Adi Kili! Kau telah mengganggu tidurku. Kau merusak ketenangan hutanku. Diamlah...!!! Atau aku akan membuatmu diam!!!” Mendengar ancaman burung brenggi, Adi Kili semakin keras memanggil kakaknya.


”Kang Mantriiiii..... Pohon belimbing manis telah berbuah ... Kang Mantri...
Kang Mantriiiii..... Pohon belimbing manis telah berbuah ... Kang Mantri...
Mendengar itu, burung brenggi semakin marah dan akan mematuk Adi Kili.
”Diamlah, Adi Kili!!! Kalau tidak mau diam, aku patuk ubun-ubunmu!!!”


Adi Kili dengan tubuh gemetar tetap memanggil kakaknya, bahkan semakin cepat dan keras. Maka....
”Bag, kabag, kabag..... brenggiii... Kau memang ingin mati, Adi Kili... Kau tidak takut kepadaku, kau tidak menurut perintahku, Suaramu memecahkan kepalaku...” Selesai berkata seperti itu mengayunlah paruh burung raksasa itu ke arah Adi Kili, dan... brussss..... Paruh burung brenggi menancap di ubun-ubun Adi Kili. Seketika itu Adi Kili lunglai dan terkapar di depan gubugnya. Adi Kili mati.


Sementara itu di kota tempatnya bekerja Kang Mantri merasakan panggilan adiknya. Lalu ia bersiap pulang dengan bermacam-macam barang bawaan untuk keperluan hidupnya bersama Adi Kili yang sangat dirindukannya.


Dengan memberikan beberapa keping uang kepada sais, ia mendapat tumpangan cikar bermuatan genting yang melewati hutan tempat gubugnya berada. Berhari-hari ia dalam perjalanan pulang. Apabila matahari tenggelam mereka berhenti dan menginap di atas cikar. Sampai kemudian Kang Mantri tiba di tepi hutan, kampung halamannya. Masih sepuluh depa jarak ke gubugnya, ia sudah berteriak memanggil adiknya.

”Adi Kiliii............... Kang Mantri dataaang.......!
Adi Kiliii............... Kang Mantri dataaang.......!
Begitu terus menerus sampai Kang Mantri tiba di depan gubugnya. Dengan kerinduan yang tidak alang kepalang, Kang Mantri terus memanggil adiknya. Namun sambutan sang adik belum juga tampak. Kang Mantri mulai cemas, apa gerangan yang telah dialami adiknya. Setelah menurunkan barang bawaannya, Kang Mantri langsung menyerbu ke dalam gubug. Dan...


”Adi Kiliiiiiiiii..............................! Demikian histerisnya Kang Mantri menangis pilu melihat kerangka tergeletak di lantai tanah dalam gubugnya. Ia yakin kerangka itu adalah Adi Kili. Segera ia mengambur ke dalam hutan. Sebelum matahari tenggelam ia harus menemukan daun demolo dan daun kastubo. Setelah mendapat apa yang dicarinya, Kang Mantri berlari pulang tanpa peduli letih. Sesampai di gubugnya, ia alasi mayat Adi Kili dengan daun demolo dan ia kipasi dengan daun kastubo. Dengan menyebut nama Allah swt, dikipas-kipaskanlah daun kastubo itu.
“Pit ipit ipit...”Bunyi kipas daun kastubo yang diayun Kang Mantri berbunyi. Dan atas kehendak Allah swt. semata bahwa kerangka Adi Kili menyatu.
“Pit ipit ipit....” maka tumbuhlah daging dan kulit yang membungkus kerangka Adi Kili.
”Pit ipit ipit....” Bergerak-geraklah tubuh adi Kili.
“Pit ipit ipit.....” Berkatalah Adi Kili tentang kejadian yang dialaminya.


Kemudian Kang Mantri menyuruh Adi Kili memanggil namanya kembali agar burung brenggi datang kepadanya.
” Kang Mantriii..., pohon belimbing manis telah berbuah... Kang Mantri...
Kang Mantriii..., pohon belimbing manis telah berbuah...Kang Mantri...”
Sebentar kemudian terdengarlah....
”Bag, kabag, kabag..... brenggiii...
Bag, kabag, kabag..... brenggiii..., Adi Kili..!!! Bagaimana kau bisa selamat dari patukanku? Sekarang inilah waktumu untuk mati!


”Bag, kabag, kabag..... brenggiii...” Baru selesai kepakan sayap ketiga, Kang mantri yang bersembunyi di balik pintu mengayunkan pedang yang baru diasahnya.
”Cresss....!!!” Putuslah leher burung brenggi yang panjang seperti angsa itu bergedebug jatuh ke tanah. Burung brenggi mati dan Adi kili bersama Kang Mantri hidup berbahagia.
***



Lokakarya Sabhatansa

Di Bumi Sabhatansa, SMA Negeri 7 Malang telah diselenggarakan Lokakarya Bintek KTSP, guna meningkatkan mutu guru dan karyawan. Acara tersebut berlangsung selama dua hari,tanggal 2-3 Juli 2008.



Narasumber yang diundang :

- Prof. Dr. Djoko Saryono (Pakar pendidikan UM)

- Drs. Darto, M.Pd. (Pengawas Dikmenum)

- Drs. Sutjipto (Pengawas Dikmenum)

- Dra. Hj. Kamsinah, M.Pd. (Pengawas Dikmenum)

Selain memberikan materi Bintek KTSP, narasumber juga memberikan motivasi kepada guru dan karyawan agar menjadi profesional.

26 Agustus 2008

In Memorian: Bang Drago...

Pandanglah gambar laut ini, lalu simaklah puisi berikut... 


Tasik yang Tenang 

Memandangmu, 
terasa hati menjadi pilu, 
wahai tasik yang tenang 
Karena telah kau simpan 
lembar terakhirku bersamanya 
Di airmu yang biru kau apungkan kenangan itu 
Di tanjungmu kau ukir siluet wajahnya 
Setiap melihatmu, 
air sungai kecilku bergemericik mengalir 
Mengalirkan namanya bersama doa-doa: 
Allahumaghfirlahu warkhamhu waafihi wafuanhu..... 
(Untuk kakak yang pergi)

 
Oktober 2005 
Pada tanggal 30, Mas Heri berulang tahun ke-37. Ketika Malam tinggal sepertiga, Dia mendoakan saya lewat sms: 
Semoga selalu sehat, Dik; sukses dalam karier, dan sukses dalam keluarga. 

Lalu saya balas: 
Selamat berulang tahun, Mas; semoga Allah memberikan segala yang terbaik. 
Motto: Lebih baik gugur di medan perang daripada hidup terhina. 

Entah karena apa, malam itu aku tiba-tiba rindu padanya dan menangis bahkan tersedu-sedu. 


November 2005 
Kami bersaudara (kecuali Dik Agus yang tidak mendapatkan cuti dari Batalyon 733 Ambon) berkangen-kangenan di pantai Tanjung Kodok Lamongan. Ini inisiatif Mas Heri, kakakku yang berdinas di Detasemen Gegana Jakarta. Di ujung Lamongan itulah dia berpesan agar kami selalu menjadi saudara yang solid, menjunjung kehormatan keluarga, dan tidak mementingkan diri sendiri. Dia mengajak kami membuat foto keluarga sebagai kenang-kenangan, tetapi Mbak Dara tidak mau karena suatu hal. 

Esoknya, kami berpisah. Saya harus kembali ke Malang. Terakhir bersamanya ketika dia menyeberangkan saya di jalan Babat-Jombang yang padat lalu lintas. 

Desember 2005 
Mas Heri meninggal dunia karena sakit. Ternyata selama ini dia menderita sakit malaria. Sudah bertahun-tahun dia menderita, sejak menjalankan tugas di Aceh. Sebelum meninggal, dia diopname di RS Polisi Kramat Jati, Jakarta. Dia memaksa keluar dan pulang ke Lamongan. Dia meninggal di pangkuan ibu: damai, seperti ketika dia baru dilahirkan 37 tahun yang lalu. Mendengar kabar kepergiannya, aku tak bisa tidur, juga tak sabar menunggu waktu subuh untuk berangkat. Masih teringat saat itu langit pagi berwarna biru semburat awan jingga di ufuk timur. Sepanjang perjalanan ke Lamongan saya menangis. 

Setinggi bangau terbang, akhirnya ke pelimbahan juga. Lamongan telah menjadi istirahatnya, bersama ayahku yang telah lama menunggu. Sampai kini duka itu masih di hati kami, terutama ibu, karena sebagian besar ruang hati ibu diisi namanya, sejak kami kecil dahulu.
***

Lelaki Kecil Kehilangan Bapa

Lelaki kecil itu
telah kehilangan bapa
gemuruh dadaku merasakannya
kutahan guncangan napas
agar butiran di mata tak tumpah olehnya
tersayat hati saat pandangi wajahnya
walau tanpa air mata, ia tahu bapanya tiada
dan aku rasakan pula kehancuran hatinya.


Lelaki kecil itu 
telah kehilangan bapa
enam tahun usianya
telah ia tinggalkan yang dipunya
dan yang pergi, harta tiada tara
pelipur jiwa raga
pengisi sukma yang hampa.

Lelaki kecil itu 
telah kehilangan bapa
pernah kubawa ia ke pusara
kuajarkan membaca realita padanya
dan mohonkan ampun untuk bapanya
selalu, selalu, selalu, sampai ke ujung masa.

Lelaki kecil itu 
telah kehilangan bapa
kupunya asa untuknya
di setiap dialog dengan-Nya
aku meminta, menghamba
agar dia menjadi lentera
penerang ibu-bapanya

Lelaki kecil yang kehilangan bapa
bertahanlah
tetap tegar dan terus melangkah 
menjalani takdirmu dengan tabah
jadilah mata air yang bertasbih membendung air mata
jadilah hamba saleh yang setia merapal doa-doa 
jadilah satria kuat untuk bangsa dan negara


Malang, 24 April 2006
Untuk keponakanku sayang:
Panji Satria Yudha