04 November 2009

Negeri Para Bedebah

 

Berikut ini sajak Adhei M. Massardi yang mungkin bisa menjadi bahan perenungan kita, walaupun pahit....

Negeri Para Bedebah

 

Ada satu negeri yang dihuni para bedebah

Lautnya pernah dibelah tongkat Musa

Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah

Dari langit burung-burung kondor menjatuhkan bebatuan menyala-nyala

 

Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?

Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah

Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah

Atau menjadi kuli di negeri orang

Yang upahnya serapah dan bogem mentah

 

Di negeri para bedebah

Orang baik dan bersih dianggap salah

Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan

Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah

Karena hanya penguasa yang boleh marah

Sedangkan rakyatnya hanya bisa pasrah

 

Maka bila negerimu dikuasai para bedebah

Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah

Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum

Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya

 

Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebah

Usirlah mereka dengan revolusi

Bila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi

Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi

Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan.

28 Oktober 2009

KILAS BALIK SUMPAH PEMUDA

Hari ini, 28 Oktober 2009 diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda ke-81 di Indonesia. Dalam jejak sejarah Indonesia, Sumpah Pemuda merupakan momentum yang menjadi bagian dari mata rantai perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Sumpah Pemuda dicetuskan dari Kongres Pemuda Indonesia II dan merupakan proses menuju terwujudnya cita-cita Indonesia merdeka. Kongres Pemuda II berlangsung selama dua hari di Jakarta, 27- 28 Oktober 1928.

Rapat Pertama :
Tanggal 27 Oktober 1928, malam Minggu, pukul 7.30 - 11.30 di Gedoeng Katholieke Jongenlingen Bond, di Waterloophlein Noord (kini Jalan Lapangan Banteng Utara.
1. Memboeka kerapatan oleh toean Soegondo
2. Menerima salam dan menjoekai kerapatan.
3. Dari hal persatoean dan kebangsaan Indonesia oleh Muhammad Yamin

Rapat Kedua:
Tanggal 28 Oktober, hari Minggu pukul 8.00 - 12.00 di Oost Java Bioscoop di Koningsplein Noord (kini Jalan Merdeka Utara) membicarakan perkara pendidikan oleh 4 orang yaitu :
Mej (nona) Poernomowoelan
Toean Sarmidi Mangoensarkoro
Toean Djokosarwono
Toean Ki Hadjar Dewantoro
(Catatan : Poernomowoelan berbicara tentang pendidikan di asrama,
sedangkan yang lainnya berbicara tentang pendidikan kebangsaan)

Rapat Ketiga :
Tanggal 28 Oktober 1928 malam Senin pukul 5.30 - 7.30 di Gedoeng Indonesische lubgebouw (kini Jalan Kramat 106).
1. Perkara Pergerakan Pandoe (Padvinderij) oleh Ramelan, Commandant Sarekat Islam Afdeling Padvenderij
2. Pergerakan pemoeda Indonesia dan pemoeda di tanah leoaran oleh Toean Mr. Soenario
3. Mengambil poetoesan
4. Menoetoep Kerapatan

Yang diundang untuk menghadiri kongres itu adalah semua perkumpulan dan mahasiswa serta perkumpulan-perkumpulan kaum dewasa atau partai politik. Peserta kongres kurang lebih 750 orang, yang terpenting adalah wakil-wakil:

i) PPPI yang dipimpin oleh Soegondo Djojopoespito,
ii) Jong Java yang dipimpin oleh RM. Djoko Marsaid,
iii) Jong Islamieten Bond yang dipimpin Djohan Muhamad Tjaja,
iv) Jong Soematranen Bond yang dipimpin Muhammad Yamin,
v) Jong Bataks Bond yang dipimpin Amir Syarifudin,
vi) Wakil-wakil Jong Celebes yang dipimpin R.C.L. Senduk,
vii) Jong Ambon yang dipimpin J. Leimena,
viii) Wakil-wakil pemoeda Indonesia yang dipimpin R. Katjasoengkana,
ix)Wakil-wakil pemoeda Kaum Betawi yang dipimpin Rochjani Soe'oed.

Dari pihak kaum dewasa yang hadir adalah Mr. Sartono yang mewakili PNI cabang Jakarta, Kartakoesoema PNI cabang Bandung, Abdurrahman mewakili Boedi Outomo Jakarta, Mr. Soenario mewakili PAPI (Persaoedaraan Antar Pandoe Indonesia), Kartosoewiryo mewakili Pengurus Partai Syarikat Islam, Sigit mewakili Indonesische Club, Muhidin mewakili Pasundan, Arnold Mononutu yang mewakili
Persatuan Minahasa.

Tokoh-tokoh yang hadir adalah S. Mangunsarkoro, Nona Poernomowulan, Mr. Mohammad Nazif, Emma Poerdiredja, Koentjoro Poerbopranoto, Soekmono, Soerjadi, Djaksudipoero (Wongsonegoro), Moh.Roem, Dien Pantouw, Soewirjo, Soemanang, Dali, Syahboeddin Latif, Soelaiman, Kartomenggolo, Soemarto, Jos Masdani, Anwari, Nona Toembel, Moh. Tamzil, AK Gani, Kasman Singodimejo, Anggota-anggota Dewan Rakyat (Volksraad) yang hadir adalah Dr. Pyper dan Vander Plas. Dari kalangan Pers yang hadir adalah Saeroen, WR. Soepratman.

Sidang-sidang yang penuh semangat dan dijiwai oleh hasrat dan keinginan yang berkobar-kobar untuk mencapai kesatuan dan persatuan menuju Indonesia Merdeka itu, diselingi pula oleh dua kali insiden dengan polisi Belanda yang mengawasi jalannya kongres. Yang terpenting pada sidang ketiga adalah selingan yang diberikan oleh
seorang wartawan yang gemar musik Wage Rudolf Soepratman. Dengan izin dari ketua sidang, Soegondo Djojopoespito, ia memperdengarkan nyanyian Indonesia Raya melalui gesekan biolanya.

Pimpinan sidang kuatir bait-bait syair "Indonesia Raya" yang penuh dengan ungkapan Indonesia Raya dan Merdeka itu akan mengundang insiden lagi dengan polisi-polisi Belanda yang berada disitu. Setelah Istirahat selesai, rapat yang ketiga dibuka kembali oleh ketua sidang, dengan suara keras membacakan usul resolusi yang
berjudul "Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia" Sebelum disahkan oleh kongres, atas permintaan ketua sidang Moehammad Yamin memberi penjelasan panjang lebar seraya memberikan tekanan-tekanan pada hal-hal penting yang telah dikemukakan oleh semua pembicara, serta menegaskan bahwa usul resolusi itu sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh mereka. Setelah mendengar penjelasan itu, usul resolusi tersebut disahkan oleh kongres. Hadirin bertepuk tangan diiringi dengan pekikan:"Hidup Persatuan". Perasaan lega dan bangga, meliputi seluruh yang hadir karena Kongres Pemoeda kedua telah berhasil dengan gemilang. Poetoesan Kongres inilah yang kemudian disebut "Soempah Pemoeda"

POETOESAN CONGRES PEMOEDA-PEMOEDA INDONESIA
Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia jang diadakan oleh
perkoempoelan-perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan
kebangsaan dengan namanya : Jong Java, Jong Soematera (Pemoeda
Soematera), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond,
Jong Bataks Bond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan
Perhimpoenan Peladjar-peladjar Indonesia.
Memboeka rapat pada tanggal 27 - 28 Oktober di negeri Djakarta,
sesoedahnya mendengar pidato-pidato dan pembitjaraan jang diadakan
di dalam kerapatan tadi, sesoedah menimbang segala isi pidato-pidato
dan pembitjaraan ini; kerapatan laloe mengambil poetoesan :

Pertama,

KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA,
MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA.

Kedoea,

KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA,
MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE BANGSA INDONESIA.

Ketiga,

KAMI POETERA DAN POETERI INDONESIA,
MENJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA.

Setelah mendengar poetoesan ini kerapatan mengeloearkan kejakinan Azas ini wajib dipakai oleh segala perkoempoelanperkoempoelan kebangsaan Indonesia;
Mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoeannya :
● Kemaoean
● Sedjarah
● Bahasa
● Hoekoem adat
● Pendidikan dan Kepandoean

Dan mengeloearkan pengharapan soepaja poetoesan ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan di moeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan kita.

Sumpah Pemuda telah berhasil menyatukan gerak langkah seluruh bangsa untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme yang telah menjajah selama lebih dari tiga setengah abad. Sumpah Pemuda telah memberikan semangat dan motivasi baru bagi bangsa ini untuk memperjuangkan nasib dan eksistensinya sebagai bangsa yang merdeka, bersatu, dan berdaulat.
Sumpah Pemuda telah memberikan inspirasi terhadap seluruh anak bangsa untuk tetap menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai bagian dari proses sejarah, jiwa dan semangat Sumpah Pemuda perlu diaktualisasikan agar tetap relevan dengan perubahan zaman. Reaktualisasi jiwa dan semangat Sumpah Pemuda harus bermakna bagi seluruh komponen bangsa untuk memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan menuju Indonesia yang bermartabat.
Reaktualisasi jiwa dan semangat Sumpah Pemuda juga harus dimaknai pula sebagai upaya yang serius untuk dapat menjaga integritas dan jati diri bangsa di tengah kehidupan global. Globalisasi sebagai bagian dari perkembangan peradaban umat manusia merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari. Interaksi global akan berpengaruh terhadap upaya membangun jati diri dan martabat bangsa. Oleh karena itu eksistensi bangsa di masa depan akan ditentukan oleh seberapa jauh bangsa ini mampu berdiri sama tegak dengan negara-negara lain dalam pergaulan Internasional.
Untuk membangun jati diri dan martabat bangsa haruslah didasarkan pada kemampuan nasional membangun kompetensi bangsa, sehingga mampu bersaing di era global. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa daya saing bangsa merupakan nilai intrinsik
yang harus melekat pada jati diri dan martabat bangsa. Pada era globalisasi, semangat dan jiwa Sumpah Pemuda harus menjadi inspirasi untuk membangun kesadaran kolektif bangsa guna meningkatkan kualitas dan daya saing pemuda dengan tetap
menjaga eksistensi pemuda dalam percaturan global. Pemuda dalam kehidupan global akan menjadi eksis apabila menunjukkan sebuah kapasitas kemandirian dalam menjalankan tugas dan tangggung jawabnya sebagai generasi penerus bangsa.
Momentum Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-81 tahun 2009 layak dijadikan momentum untuk meningkatkan kualitas pemuda Indonesia yang mandiri. Meningkatnya kemandirian pemuda akan berimplikasi positif terhadap upaya mengatasi masalah pengangguran, kesejahteraan, dan menurunnya tingkat kemiskinan penduduk di Indonesia. Hal ini sejalan dengan komitmen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menjadikan pemuda
sebagai prioritas utama dalam pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), yang berkomitmen untuk menghapus kemiskinan sampai tahun 2015.

PBB (UNO) menetapkan 15 prioritas dalam pembangunan kepemudaan yaitu: Pendidikan, Lapangan Kerja, Kelaparan dan Kemiskinan, Kesehatan, Lingkungan, Penyalahgunaan Narkoba, Kenakalan Remaja, Waktu Luang (Leisure-Time), Pergaulan
Pemuda dan Pemudi, Partisipasi Pemuda dalam Pembuatan Keputusan, m empersiapkan Pemuda dalam era Globalisasi, Informasi dan Teknologi Komunikasi, HIV/AIDS, Pemuda dan Pencegahan Konflik, serta Masalah Antar Generasi. Kelima belas prioritas pembangunan kepemudaan merupakan prioritas utama dalam pencapaian MDGs.

Peringatan hari Sumpah Pemuda ke-81 ini bertema "Pemuda Mandiri, Indonesia Maju dan Bersatu". Tema ini secara khusus mengandung pesan bahwa bekal menuju Indonesia sejahtera adalah dengan mencetak, membangun dan mengembangkan pemuda Indonesia yang patriotik, memiliki jati diri, memiliki wawasan dan jiwa nasionalis-religius, berpegang teguh pada komitmen untuk tetap bersatu berdaulat di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta tumbuhnya kesadaran dan semangat untuk bangkit dan keluar dari keterpurukan serta krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia.

(Ditulis berdasarkan PEDOMAN PELAKSANAAN
HARI SUMPAH PEMUDA KE-81 TAHUN 2009)


12 Oktober 2009

Motivasi

Akhir-akhir ini saya merasa jenuh dan tidak bersemangat untuk menulis – tanpa sebab yang jelas- saya menjadi malas dan merasa sangat tidak produktif. Saya salut sekaligus iri terhadap sahabat-sahabat blogger yang begitu kretaif, rajin, dan produktif. Dan ketika saya mengunjungi blog sahabat di Mexico, Eduardo Robles Pacheco , dia seorang master ilmu komputer yang menyukai fotografi, jurnalistik, musik, dan seni. Saya terhenyak karena dia menanyakan kevakuman blog saya. Dia katakan bahwa tidak ada tulisan yang baru di blog saya. Berikut kata-katanya (yang telah saya terjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia):

"My dear friend,
Kau tahu, bekerja dan berusaha untuk mengubah dunia adalah jalan hidup saya ...
Dan Anda? Saya tidak melihat Anda menulis, saya melihat posting yang sama selama sebulan penuh. Saya harap Anda bisa menulis secepat mungkin karena saya ingin tahu tentang Anda lagi.
Terima kasih banyak..."



Seketika saya introspeksi diri dan menyadari bahwa saya telah menyia-nyiakan waktu dan pikiran begitu saja. Tidak konsisten dalam memelihara kreativitas berpikir dan berkreasi. Tidak ajeg dalam menjalin dan mempertahankan persahabatan dalam jaringan. Serta membiarkan perasaan berfluktuasi layaknya kurs dollar tehadap rupiah. Sungguh memprihatinkan. Karena mengistirahatkan pikiran berlama-lama sama dengan melemahkan benteng ketahanan diri terhadap serangan penyakit, khususnya penyakit malas, pikun, bahkan gangguan kejiwaan. Dengan membaca kita bisa menjadi bertambah wawasan, tetapi dengan menulis kita mendapatkan banyak hal, tidak sekedar wawasan.Menulis adalah mengasah kecerdasan.Setidaknya ada tujuh kecerdasan yang patut diperhitungkan secara sungguh-sungguh,yaitu: kecerdasan linguistik¸ logis-matematis, spasial, musikal, kinestetik, jasmani, antarpribadi, dan intrapribadi.

Kecerdasan linguistik bertumpu pada kemampuan seseorang dalam berbicara dan menulis. Menurut Armstrong, orang yang mempunyai bakat di bidang ini akan peka dan tajam terhadap bunyi atau fonologi bahasa. Mereka menggunakan pilihan kata yang tepat, rima, tongue twister, aliterasi, onomatope, juga mahir memanipulasi sintaksis (struktur atau susunan kalimat), juga kepekaannya terhadap bahasa melalui semantik (pemahaman tentang makna). Kemampuan tersebut digunakan dalam berbicara maupun menulis. Dengan menulis sesesorang telah mempekerjakan otak untuk mengolah fakta yang masuk ke dalam dirinya baik secara auditif, visual, maupun taktil.

Dan dalam kesempatan lain saya sampaikan kepada sahabat saya tersebut tentang kemalasan saya, lalu dia berkata:

“Jangan khawatir, kadang-kadang kita perlu berhenti menulis untuk waktu yang lama, itu karena kita memiliki banyak refleksi batin dan formulasi tentang apa yang kita bisa menulis. Kita tidak menulis terlalu terlambat atau terlalu awal, kita hanya menulis di saat kita harus menulis. Bukan berarti saya mengatakan Anda sedang malas, saya hanya ingin mengatakan bahwa saya akan bahagia jika saya bisa melihat posting lain di Blog Anda. Sangat menarik untuk membaca bahasa Anda dan mencoba untuk mengerti kata demi kata yang merefleksikan perasaan Anda (Sangat sulit bagi saya karena saya hanya tahu bahasa Inggris dan Spanyol, tetapi mencoba adalah menarik).
'Sebuah jejak pada jiwa: Itu adalah teman'
Terima kasih, dan saya bersyukur bersahabat dengan Anda walaupun Anda berada di sisi lain dunia ... Mungkin, suatu hari, saya dapat mengunjungi benua Anda, itu akan membuat saya sangat, sangat, bahagia ...”


Tidak hanya Anda yang berpikir tentang kevakuman blog saya, sahabat-sahabat blogger lain yang rajin menghias blognya dengan tulisan dan karya-karya yang memukau tentu juga demikian. Bahkan di antara mereka ada yang mengira saya telah melupakan sahabat-sahabat blogger.
Terima kasih, dear friend ...
Karya-karya fotografi dan tulisan Anda telah menjadi inspirasi bagi saya untuk tetap eksis di sini. Kata-kata Anda telah menyemangati saya untuk menulis. Walaupun tulisan saya ini hanyalah keluh kesah, sama sekali tidak bermutu dalam ukuran jurnalistik. Tetapi saya sangat bahagia karenanya. Dan saya janji untuk menghias blog ini dengan tulisan-tulisan (saya tidak mempunyai kemampuan fotografi seperti Anda, sehingga saya tidak pernah percaya diri untuk memposting gambar atau foto)




04 September 2009

Puisi TADARUS oleh K.H. Mustofa Bisri

(Di antara bentangan waktu yang tersia-siakan, aku teringat puisi ini:) 

 TADARUS 
Oleh: KH. A. Mustofa Bisri 

Bismillahirrahmanirrahim
Brenti mengalir darahku menyimak firman-Mu

Idzaa zulzilatil-ardlu zilzaalahaa
Wa akhrajatil-ardlu atsqaalahaa
Waqaalal-insaanu maa lahaa
(ketika bumi diguncang dengan dasyatnya
Dan bumi memuntahkan isi perutnya
Dan manusia bertanya-tanya:
Bumi itu kenapa?)

Yaumaidzin tuhadditsu akhbaarahaa
Bianna Rabbaka auhaa lahaa
Yaumaidzin yashdurun-naasu asytaatan

Liyurau a'maalahum
(Ketika itu bumi mengisahkan kisah-kisahnya
Karena Tuhanmu mengilhaminya
Ketika itu manusia tumpah terpisah-pisah
'Tuk diperlihatkan perbuatan-perbuatan mereka)
Faman ya'mal mitsqaala dzarratin khairan yarah
Waman ya'mal mitsqaala dzarratin syarran yarah
(Maka siapa yang berbuat sezarrah kebaikan
pun akan melihatnya
Dan siapa yang berbuat sezarrah kejahatan
pun akan melihatnya)

Ya Tuhan, akukah insan yang bertanya-tanya
Ataukah aku mukmin yang sudah tahu jawabnya?
Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi
Aduhai, akan kemanakah kiranya bergulir?
Diantara tumpukan maksiat yang kutimbun saat demi saat
Akankah kulihat sezarrah saja
Kebaikan yang pernah kubuat?
Nafasku memburu diburu firmanMu

Dengan asma Allah Yang Pengasih Penyayang
Wa'aadiyaati dlabhan
Falmuuriyaati qadhan
Fa-atsarna bihi naq'an
Fawasathna bihi jam'an
(Demi yang sama terpacu berdengkusan
Yang sama mencetuskan api berdenyaran
Yang pagi-pagi melancarkan serbuan
Menerbangkan debu berhamburan
Dan menembusnya ke tengah-tengah pasukan lawan)
Innal-insana liRabbihi lakanuud
Wainnahu 'alaa dzaalika lasyahied
Wainnahu lihubbil-khairi lasyadied
(Sungguh manusia itu kepada Tuhannya
Sangat tidak tahu berterima kasih
Sunggung manusia itu sendiri tentang itu menjadi saksi
Dan sungguh manusia itu sayangnya kepada harta
Luar biasa)
Afalaa ya'lamu idza bu'tsira maa fil-qubur
Wahushshila maa fis-shuduur
Inna Rabbahum bihim yaumaidzin lakhabier
(Tidakkah manusia itu tahu saat isi kubur dihamburkan
Saat ini dada ditumpahkan?
Sungguh Tuhan mereka
Terhadap mereka saat itu tahu belaka!)

Ya Tuhan, kemana gerangan butir debu ini 'kan menghambur?
Adakah secercah syukur menempel
Ketika isi dada dimuntahkan
Ketika semua kesayangan dan andalan entah kemana?
Meremang bulu romaku diguncang firmanMu

Bismillahirrahmaanirrahim
Al-Quaari'atu
Mal-qaari'ah
Wamaa adraaka mal-qaari'ah
(Penggetar hati
Apakah penggetar hati itu?
Tahu kau apa itu penggetar hati?)

Resah sukmaku dirasuk firmanMu

Yauma yakuunun-naasu kal-faraasyil-mabtsuts
Watakuunul-jibaalu kal'ihnil-manfusy
(Itulah hari manusia bagaikan belalang bertebaran
dan gunung-gunung bagaikan bulu dihambur-terbangkan)

Menggigil ruas-ruas tulangku dalam firmanMu

Waammaa man tsaqulat mawaazienuhu
Fahuwa fii 'iesyatir-raadliyah
Waammaa man khaffat mawaazienuhu faummuhu haawiyah
Wamaa adraaka maa hiyah
Naarun haamiyah
(Nah barangsiapa berbobot timbangan amalnya
Ia akan berada dalam kehidupan memuaskan
Dan barangsiapa enteng timbangan amalnya
Tempat tinggalnya di Hawiyah
Tahu kau apa itu?
Api yang sangat panas membakar!)

Ya Tuhan kemanakah gerangan belalang malang ini 'kan terkapar?
Gunung amal yang dibanggakan
Jadikah selembar bulu saja memberati timbangan
Atau gunung-gunung dosa akan melumatnya
Bagi persembahan lidah Hawiyah?
Ataukah, o, kalau saja maharahmatMu
Akan menerbangkannya ke lautan ampunan
Shadaqallahul' Adhiem
Telah selesai ayat-ayat dibaca
Telah sirna gema-gema sari tilawahnya
Marilah kita ikuti acara selanjutnya
Masih banyak urusan dunia yang belum selesai
Masih banyak kepentingan yang belum tercapai
Masih banyak keinginan yang belum tergapai
Marilah kembali berlupa
Insya Allah Kiamat masih lama. 
Amien.

23 Juli 2009

Untuk Anakku Seorang

(Kutulis puisi untuk anakku, gadis 12 tahun yang beranjak remaja. Kepadanya selalu kupanggil: Anakku, Sayangku, Cintaku seorang)

 

Suatu saat kau pasti mengerti

dan bisa menafsirkan makna lambang

serta simbol-simbol

yang selalu kau tanyakan

 

Suatu saat kau pasti mengerti

dan bisa menata serpihan yang tercecer

menjadi objek penuh estetika

seperti imajinasi unik

yang kau tuang dalam kertas gambarmu

 

Suatu saat kau pasti mengerti

dan bisa menikmati pahit manisnya kehidupan

laksana tangis dan tawamu dahulu

yang pernah sangat kurindukan

 

Suatu saat kau pasti mengerti

dan bisa menjawab pertanyaanmu sendiri

yang selalu tak pernah kupeduli

 

Suatu saat kau pasti mengerti

dan bisa menebarkan warna pelangi

yang sejak dahulu berpendar-pendar di hatimu

 

Suatu saat nanti...

(Semoga saat itu ada, menunggumu, walau tak lagi bersamaku,

Anakku, Sayangku, Cintaku seorang...)



Malang, 23 Juli 2009


21 Juli 2009

Analisis Struktur Novel "Pagar Kawat Berduri" Karya Trisnoyuwono

I. PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Karya sastra adalah hasil seni kreatif yang membicarakan manusia dan kehidupan dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Wellek dan Waren (1990:3) yang mengatakan bahwa sastra adalah suatu kegiatan kreatif karya seni. Sebagai karya seni kreatif yang membicarakan manusia dengan segala kehidupannya, karya sastra tidak hanya sebagai media untuk mengungkapkan gagasan tetapi juga menampungnya dengan memberikan kreasi keindahan. Dengan demikian, dalam penciptaan karya sastra, seorang pengarang dituntut untuk memiliki kepekaan dalam mengamati segi-segi kehidupan untuk direfleksikan dalam bentuk karya sastra sebagai kreasi seni. Bahan-bahan dari kehidupan diseleksi dan disusun sesuai dengan ciri individu pengarang masing-masing.

Karya sastra terbentuk oleh unsur-unsur yang saling berjalinan menyusun satu kesatuan. Seperti yang dikatakan Teew(1988:23), bahwa struktur karya sastra adalah bangun keseluruhan yang terdiri atas bagian-bagian yang masing-masing saling berjalinan. Ada dua hal pokok dalam memahami karya sastra, yaitu (1) kerangka sejarah sastra, dan(2) kerangka sosial budaya yang mengitari karya sastra tersebut.

Novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono merupakan refleksi sejarah yang digali dari pengalaman pribadi pengarangnya sebagai seorang tentara pada zaman revolusi. Novel tersebut menggambarkan kehidupan sosial yang serba tertekan pada masa perang yang dialami tokoh atau wira bermasalah. Seperti yang diungkapkan oleh Trisnoyuwono (dalam Esten, 1983:80) sebagai berikut:
"Selama ini aku menulis lebih banyak berdasarkan pengalaman-pengalamanku, tentunya karena aku belum mampu mempertanggungjawakan hal-hal di luar pengalamanku. Tapi bukan berarti bahwa yang kuceritakan itu semacam kisah nyata. Kuambil bagian-bagian pengalamanku itu, kuaduk dengan khayal, kureka-reka, kupikirkan dan kurasakan,sehingga menjadi suatu kebulatan menurut ukuranku."

Pengakuan Trisnoyuwono tersebut sama dengan penilaian Ajip Rosidi (1986:27) yang mengatakan bahwa Trisnoyuwono menjadi terkenal oleh karya-karyanya yang melukiskan kehidupan tentara dan keadaan pada pada waktu revolusi. Kisah-kisahnya digali dari pengalaman hidupnya yang dialami dengan tubuh dan jiwanya.Melihat karya sastra daari berbagai dimensi memang sulit, tetapi dapat digali dari dimensi historis, sosial, dan budaya dalam kaitannya dengan dunia pengarang pada saat mencipta atau sebelum mencipta karya sastra. Sehingga karya sastra dapat dikaji dengan bantuan unsur-unsur di luar karya sastra tersebut. Dalam kaitannya dengan analisis karya sastra, cara semacam itu menurut penulis merupakan langkah maju karena karya satra telah diakui sebagai totalitas yang saling berkorelasi antara unsur intrinsin dan unsur ekstrinsiknya.

1.2. Rumusan Masalah

Masalah kajian ini dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.
1) Bagaimana alur novel Pagar Kawat Berduri?
2) Bagaimana keterkaitan antara alur dengan penokohan dalam novel Pagar Kawat Berduri?
3) Bagaimana keterkaitan antara alur dengan setting dalam novel Pagar Kawat Berduri?
4) Bagaimana keterkaitan antara alur dengan tema dalam novel Pagar Kawat Berduri?
5) Bagaimana keterkaitan antara alur dengan novel Pagar Kawat Berduri dengan latar belakang
    budaya Trisnoyuwono?

1.3 Tujuan

Bertolak dari rumusan masalah, tujuan kajian terurai sebagai berikut.
1) Mendeskripsikan alur novel Pagar Kawat Berduri.
2) Mendeskripsikan keterkaitan antara alur dengan penokohan dalam novel Pagar Kawat
    Berduri.
3) Mendeskripsikan keterkaitan antara alur dengan setting novel Pagar Kawat Berdur.
4) Mendeskripsikan keterkaitan antara alur dengan tema novel Pagar Kawat Berduri.
5) Mendeskripsikan keterkaitan antara alur novel Pagar Kawat Berduri dengan latar belakang
    sosial budaya Trisnoyuwono.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat bagi Pengajaran Sastra

Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pelaksanaan proses belajar mengajar sastra, terutama bagi siswa SMA jurusan Bahasa. Dapat digunakan oleh guru sebagai salah satu media ajar Apresiasi Sastra Indonesia. Dan dapat digunakan oleh siswa sebagai referensi sehingga tidak terpaku pada apresiasi sastra yang terbatas pada aspek formal karya sastra. Siswa tidak hanya menganalisis karya sastra hanya pada unsur intrinsik saja, tetapi juga memperhatikan unsur ekstrinsiknya. Berkaitan dengan pengajaran apresiasi maupun kritik sastra, hasil kajian ini dapat membantu pengajar sastra dalam memberikan model kerja pendekatan struktural genetik.

1.4.2 Manfaat bagi Pembaca

Hasil kajian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca secara umum untuk menambah wawasan kesusastraan Indonesia, terutama isi novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono berdasarkan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsiknya.

1.4.3 Manfaat bagi Kritikus Sastra

Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi kritikus sastra, terutama mengenai interpretasi struktur novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono yang dikaji dalam keterkaitannya dengan biografi dan latar belakang sosial budaya pengarang. Sehingga dapat mengembangkan wawasannya dalam khasanah studi kritik sastra.

1.5 Penegasan Istilah

Guna memperjelas dan menghidari terjadinya kesalahan persepsi akibat pemakaian istilah-istilah, maka dalam kajian ini perlu adanya penegasan istilah sesuai dengan judul kajian. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, istilah-istilah yang digunakan ditegaskan berdasarkan pengertian yang relevan sebagai berikut.

Analisis
1) Penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta
    hubungan antar bagian-bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti
    keseluruhan.
2) Penguraian karya sastra atas unsur-unsurnya untuk memahami pertalian antar unsur-unsur
    tersebut.

Unsur intrinsik
Unsur yang terkandung dalam karya sastra yang membangun keutuhan cerita, sepereti alur, penokohan, setting, dan tema.

Unsur ekstrinsik
Unsur yang berada diluar karya sastra dan turut mewarnai cerita, seperti biografi pengarang, keadaan zaman pada saat karya sastra diciptakan, sosial, budaya, dan politik.

Novel

Sebuah genre satra yang berbentuk prosa, memiliki unsur fiksional dalam struktur formal berupa teks, dan memiliki kesatuan yang dibentuk oleh jalinan antar unsur-unsurnya.

Pagar Kawat Berduri
Sebuah novel karya Trisnoyuwono yang diterbitkan oleh penerbit Djambatan di Jakarta tahun 1963.

Media pembelajaran
Perantara atau penghubung untuk mencapai tujuan dalam proses belajar mengajar.

Apresiasi sastra
Penilaian atau penghargaan terhadap karya sastra melalui proses membaca, memahami, dan
menganalisis.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Novel

Esten (1990:12) mengemukakan bahwa novel merupakan pengungkapan dri fragmen kehidupan manusia dalam jangka waktu lebih lama, dan didalamnya terjadi konflik-konflik yang menyebabkan perubahan jalan hidup (nasib) para pelakunya.Pengertian lain disampaikan oleh Tarigan (1986:164), bahwa novel adalah suatu eksplorasi atau kronik kehidupan dan penghidupan, merenungkan, dan melukiskan dalam bentuk tertentu, pengaruh, ikatan, hasil, kehancuran, atau tercapainya gerak gerik manusia.
 
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah bentuk prosa fiksi yang menceritakan suatu kejadian dalam rentangan waktu tertentu yang ditandai adanya perubahan nasib para tokoh yang mengemban peristiwa. Novel merupakan suatu kesatuan yang dibangun oleh bagian-bagian yang saling berjalinan sehingga membentuk keutuhan secara keseluruhan. 

Novel sebagai wujud karya sastra tidak bisa dilepaskan dari pengarangnya. Pengarang menciptakan novel membutuhkan proses sebelum sampai kepada pembaca. Proses tersebut disebut proses kreatif, yang berkaitan erat dengan imajinasi dan kepekaan pengarang.

Ada berbagai pendapat mengenai unsur-unsur yang membangun novel secara utuh sebagai teks naratif. Sudjiman (1988) menyatakan bahwa struktur naratif dalam karya sastra novel ialah tema dan amanat, alur cerita, latar cerita, dan tokoh cerita. Sedangkan Abdullah (1983) berpendapat bahwa teks naratif terdiri atas unsur susunan peristiwa, teknik pengembangan cerita, struktur ruang dan waktu, dan penokohan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa unsur intrinsik yang dominan membangun karya novel adalah alur, penokohan, setting, dan tema. Mengingat tujuan kajian ini, maka unsur yang dibahas secara khusus adalah alur, sedangkan unsur penokohan dan setting dibahas dalam kaitannya dengan alur sebagai kesatuan pembentuk tema.

2.2 Alur

Alur cerita merupakan padanan plot. Aminuddin (1987) menyatakan bahwa alur merupakan rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga membentuk cerita yang dihadirkan oleh para pelakunya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alur merupakan tumpuan ide, tendens dan motif yang disalurkan dari peristiwa dan perwatakan dalam prosa fiksi. Alur memiliki struktur gerak dalam urutan peristiwa-peristiwanya sehingga membentuk tulang punggung cerita. Itulah sebabnya alur mengandung intelektual selain memori pengarang.
 
Jenis alur ada bermacam-macam, namun dalam kajian ini hanya dua jenis alur yang analisis. Berdasarkan urutan peristiwa, alur dibedakan atas alur linier dan alur flash back atau sorot balik. Berdasarkan tahapan-tahapan konflik, alur dibedakan atas alur datar dan alur menanjak.

Alur linier adalah alur yang susunan peristiwanya berurutan secara kronologis berdasarkan urutan waktu. Alur flash back atau sorot balik adalah alur yang peristiwa-peristiwanya dimulai dari masa kini ke masa lalu, atau perpaduan antara keduanya dengan dominasi peristiwa masa lalu. Alur datar adalah alur yang peristiwa-peristiwanya tidak sampai pada tahap klimaks. Sedangkan alur menanjak adalah alur yang peristiwa-peristiwanya sampai pada tahap klimaks.Tahapan-tahapan konflik dalam alur terdiri atas tahap paparan (perkenalan), rangsangan (munculnya pemicu konflik), gawatan (munculnya konflik), tikaian (konflik meningkat), rumitan (konflik semakin memanas), klimaks (konflik mencapai puncak), leraian (kadar konflik menurun), dan selesaian (penyelesaian cerita).

2.3 Penokohan
Menurut Aminuddin (1987), penokohan adalah cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi. Penokohan yang paling sederhana adalah pemberian nama atau sebutan. Lebih lanjut penokohan dapat diidentifikasi dalam penggambaran fisik, jenis kelamin, umur, karakter, status sosial, dan lain-lain, yang dapat menghidupkan tokoh dalam cerita fiksi. Cerita-cerita yang memiliki tokoh seperti itu disebut cerita konvensional, sedangkan cerita yang tokoh-tokohnya menyimpang dari sifat manusia dalam kehidupan sehari-hari disebut cerita inkonvensional yang bersifat absurd.

Tokoh dalam cerita fiksi seperti halnya manusia dalam kehidupan sehari-hari yang memiliki karakter dan kebiasaan tertentu. Tokoh yang berkarakter baik disebut tokoh protagonis, sedangkan yang memiliki karakter buruk disebut tokoh antagonis. Tokoh yang memiliki peranan penting dalam cerita disebut tokoh utama, sedangkan yang perannya tidak terlalu penting disebut tokoh sampingan atau tokoh pembantu.

2.4 Setting
Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta mempunyai fungsi fisikal dan fungsi psikologis (Aminuddin, 1987:67). Menurut batasan tersebut, setting dibedakan menjadi setting tempat, setting waktu, dan setting suasana.
 
Keberadaan latar atau setting dalam suatu cerita sangat penting, hal itu tidak hanya dilihat dari fungsi tetapi juga dalam hubungannya dengan unsur intrinsik yang lain untuk membentuk sastu kesatuan mewujudkan tema cerita. Di mana, kapan, dan bagaimana tokoh berada dalam cerita, maka disitulah peran setting teridentifikasi. Selain memberi informasi tentang situasi ruang dan waktu, setting juga berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh dalam cerita.

2.5 Tema

Tema berasal dari bahasa Latin yang berarti ”tempat meletakkan sesuatu”. Selanjutnya dapat dirumuskan bahwa tema adalah gagasan atau ide dasar yang melandasai suatu karya sastra. Dari sudut pandang pengarang, tema merupakan sesuatu yang pertama diletakkan; sedangkan bagi pembaca, tema merupakan sesuatu yang terakhir didapatkan. Dalam proses membaca dan memahami sebuah karya sastra, pembaca dapat mengidentifikasi, alur, tokoh, dan settting, yang secara bersama-sama berjalinan mengantarkan pada perumusan tema.
 
Tidak ada prosa fiksi yang tidak menggunakan tema, karena tidak mungkin orang menulis sesuatu tidak tentang sesuatu. Pada dasarnya karya sastra mengatakan sesuatu, yaitu tentang hidup dan kehidupan.

2.6 Latar Belakang Sosial Budaya Pengarang

Pengarang merupakan orang pertama yang mempunyai keterikatan dengan hasil karyanya, seperti dikatakan Wellek dan Warren (1990:82), bahwa penyebab utama lahirnya karya sastra adalah penciptanya sendiri. Oleh karena itu agar dapat memahami karya sastra secara utuh diperlukan pengetahuan tentang latar belakang sosial budaya pengarang yang sedikit banyak memberi pengaruh terhadap karya sastra yang dihasilkan. Dengan pernyataan ini bukan berarti pembaca tidak dapat memahami sebuah karya sastra tanpa mengetahui latar belakang pengarang. Akan tetapi pemahaman tentang latar belakang pengarang dapat membantu pembaca untuk mengupas tuntas isi karya sastra, terutama karya-karya sastra yang tidak transparan dan multiinterpretasi. Sehingga pembaca dapat mengatasi kesulitan yang ditemui pada saat melakukan proses analisis. Oleh karena itu dalam konteks inilah biografi dan latar belakang pengarang bermanfaat bagi proses analisis karya sastra.
 
Berkaitan dengan sumber data dalam kajian ini, pengarang, Trisnoyuwono, dilahirkan dan dibesarkan di Jogjakarta, Jawa Tengah, 5 Desember 1926. Ia dan keluarganya menganut agama Islam. Tamat SMA pada tahun 1946. Ketika revolusi pecah, ia berumur 20 tahun dan mempunyai semangat yang kuat ikut berperang dan bergabung dengan tentara pelajar. Tahun 1947-1948 masuk korps mahasiswa di Magelang dan Jombang. Ia malang melintang dalam pertempuran di berbagai kota, dari Surabaya, Jombang, Magelang, Jogja, Semarang, Ambarawa, sampai Pasundan. Selain bertempur, ia juga mengadakan serangan gerilya, mencegat konvoi serdadu Belanda dengan berani. Pada Agresi Militer Belanda II tahun 1949, ia tertangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Ketika ia sakit dan dirawat di rumah sakit, ia bisa melarikan diri.

Trisnoyuwono menjalani hidupnya dengan penuh petualangan. Ketika penyerahan kedaulatan tahun 1950, ia hijrah ke Jakarta dan resmi menjadi TNI Divisi Siliwangi. Di tengah kesibukannya sebagai tentara, Trisnoyuwono mencoba untuk mengarang. Karena sering berkontemplasi untuk menghasilkan inspirasi tulisannya, ia dianggap gila dan dipecat dari kesatuannya. Sejak itu ia menjadi lebih giat menulis. Banyak karya yang telah dihasilkan, salah satunya adalah novel Pagar Kawat Berduri yang menjadi sumber data dalam kajian ini. Guna menghasilkan tulisan yang bermutu, Trisnoyuwono belajar dari hasil karya penulis besar dunia, seperti: Shakespiere, Andre Gide, Tolstoy, Anton Chekov, Dostoyevki, Guy de Maupassent, dan penulis-penulis Indonesia.

Kehidupan Trisnoyuwono sebagai orang Jawa sangat kental dengan budaya Jawa. Masyarakat Jawa terkenal dengan sikap dan sifat rumangsan, tepo seliro, mawas diri, budi luhur, nrimo ing pandum. feodalistik, fatalistik, lemah dalam mengambil keputusan, kekerabatan, kekeluargaan, mati raga, dan hipokrisi (Sutriano:1985).

Dalam kehidupan masyarakat Jawa terjadi stratifikasi sosial. Penyebab terjadinya stratifikasi sosial antara lain karena adanya kelompok-kelompok yang dihargai karena keturunan, kedudukan, kekuasaan, pekerjaan, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Dengan demikian setiap orang mempunyai situasi yang menentukan hubungannya dengan orang lain baik secara vertikal maupun horisontal dalam masyarakat. Stratifikasi semacam itulah yang melahirkan istilah wong cilik, priyayi, dan bangsawan. Masyarakat Jawa memiliki alat pencegah konflik, yang menurut Umar Kayam (1987) disebut the web of significance, dengan jalan mengembangkan jatmiko, hormat, rukun, edi peni dan adiluhung.
Semua itu ”menjerat” masyarakat Jawa menjadi konformis dengan keadaan yang selaras, teratur, damai, tenang, dan sejahtera. Hal tersebut akan terlaksana secara efektif apabila terdapat pemimpin yang informal dan tradisional dalam masyarakat.

Sejumlah norma, pranata sosial, politik, ekonomi, dan tradisi tersebut dapat diidentifikasi pengaruhnya terhadap karya yang dihasilkan oleh pengarang. Melalui kepekaan dan ketajaman inderanya, pengarang menangkap gejala zaman kemudian lahir keinginan untuk mengkomunikasikannya dengan masyarakat melalui karyanya.

Karya sastra tidak lepas dari penciptanya. Seorang penulis yang selalu berhubungan dengan kondidi sosial budaya tertentu dapat digunakan sebagai suatu petunjuk dari petunjuk-petunjuk yang lain. Oleh karena itu analisis unsur intrinsik dalam kajian ini akan dipadukan dengan analisis unsur ekstrinsik yang mendukung keutuhan karya sastra.

Mengenai keterkaitan antara kesatuan novel dengan latar belakang pengarang, Wellek dan Warren (1990) memberikan beberapa pandangan, antara lain (1) biografi pengarang dapat menerangkan dan menjelaskan proses penciptaan karya sastra yang sebenarnya; (2) kajian tentang latar belakang pengarang mengalihkan pusat perhatian dari karya sastra ke pribadi pengarang; dan (3) biografi pengarang dapat dipakai sebagai bahan untuk ilmu pengetahuan atau psikologi penciptaan artistik. 

Dalam kajian ini, pandangan tentang korelasi karya sastra dengan pengarang ditekankan pada poin pertama, yang mempelajari biografi dan latar belakang pengarang untuk menerangkan proses penciptaan karya sastra dan kemungkinan pengaruhnya terhadap kesatuan karya yang diciptakan.
Karya satra sebagai struktur yang memiliki hubungan timbal balik dengan aspek-aspek yang melatarbelakangi penciptaannya, antara lain kesejarahan pengarang, biografi pengarang, proses penciptaan, dan sosial budaya.

III. METODE


Metode adalah cara untuk bertindak secara sistematis dan terarah dalam upaya mencapai tujuan secara optimal. Metode yang digunakan dalam suatu kajian harus objektif, yakni terjadi kesesuaian dengan objek kodratnya. Demikian juga dengan kajian sastra harus mempertimbangkan keberadaan karya sastra yang akan dikaji. Setiap karya sastra memiliki karakteristik tersendiri yang membedakannya dengan karya sastra yang lain. Karya sastra dipandang sebagai sistem, sebuah struktur yang keutuhannya dibentuk oleh kaitan tetap antar unsur yang ada di dalamnya. Dan keutuhannya memiliki keterkaitan dengan unsur ekstrinsik karya sastra tersebut.

Dalam kajian yang bersifat kualitatif ini digunakan metode dialektika. Metode dialektika adalah cara bertindak dan berpikir logis yang diawali dengan adanya tesis, antitesis, dan sintesis yang diterapkan pada objek bahasa. Metode dialektika diterapkan dalam cara kerja analisis sebagai berikut: (1) bermula dan berakhir pada teks sastra; (2) menekankan pada koherensi struktur karya sastra; (3) konsep yang digunakan adalah ”keseluruhan-bagian dan pemahaman penjelasan”, artinya karya sastra tidak dapat dipahami keseluruhannya tanpa memahami bagian-bagiannya; (4) gagasan individual dikatakan mempunyai arti apabila berada dalam konteks menyeluruh.

Secara ringkas, cara kerja metode dialektika adalah menganalisis struktur karya sastra dan menginterpretasikan keterkaitan antar unsur-unsurnya, kemudian menghubungkannya dengan latar belakang sosial budaya pengarang. Unsur-unsur yang dimaksudkan adalah alur dalam hubungannya dengan penokohan, setting, dan tema, serta identifikasi keterkaitannya dengan unsur ekstrinsik, yaitu latar belakang pengarang.

Selanjutnya, pengolahan data dalam kajian ini menggunakan teknik analisis, yang meliputi proses organisasi, interpretasi, dan evaluasi. Bertumpu pada teknik tersebut, maka langkah kerja analisis novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono dimulai dengan (1) membaca teks; (2) mengorganisasi struktur novel berdasarkan sekuen cerita; (3) mengidentifikasi keterkaitan alur dengan penokohan, setting, dan tema; (4) mengidentifikasi keterkaitan struktur novel dengan latar belakang pengarang; dan (5) menyimpulkan dan mengevaluasi struktur novel.


IV. DESKRIPSI HASIL ANALISIS UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK NOVEL PAGAR KAWAT BERDURI KARYA TRISNOYUWONO


4.1 Alur

Analisis Alur dilakukan dengan cara menyimpulkan data yang disajikan dalam teks. Dalam kajian novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono, analisis alur dibatasi pada dua jenis alur. Yaitu (1) jenis alur berdasarkan urutan peristiwa, dan (2) jenis alur berdasarkan tahapan peristiwa.

4.1.1 Jenis Alur Berdasarkan Urutan Peristiwa
 
Novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono tersusun atas peristiwa-peristiwa yang berangkaian membentuk sebuah teks. Untuk mengidentifikasi alur berdasarkan waktu, maka peristiwa-peristiwa dalam teks dipilah menjadi sekuen-sekuen ( untaian peristiwa). Dari urutan satuan teks yang berupa sekuen tersebut dapat diketahui jenis alur berdasarkan urutan peristiwa.

Sekuen pertama mendeskripsikan daerah pendudukan yang tampak tenteram di suatu sore , ketika cahaya matahari menyelimuti pegunungan yang membiru jernih di bumi Ambarawa. Suasana tiba-tiba berubah ketika muncul para pedagang yang menyelundup ke daerah pendudukan.

Pada Sekuen ke- 2 ditampilkan keberadaan dua orang pemuda pejuang yang menyamar di antara para pedagang, namanya Herman dan Toto. Mereka mengemban tugas dari Markas Besar Tentara di Jogja ( pada waktu itu pusat pemerintahan Indonesia berpindah ke Jogja). Tugas mereka mencari keterangan mengenai kemungkinan penyerbuan Belanda ke Jogja. Informan yang dicarinya adalah seorang kapten pemimpin gerakan bawah tanah yang dikabarkan hilang, namanya Krisna.

Kisah flash back tentang masa lalu Herman dan Toto dihadirkan dalam sekuen ke- 3. Di daerah pertempuran Mojokerto-Jombang, Toto menunjukkan keberaniannya ketika ia dan Herman terjebak patroli Belanda. Herman yang menyelamatkan pasukan dan Toto memancing serdadu Belanda dan menembakinya sampai mereka mundur dan tersesat. Keduanya mendapatkan penghargaan dari Komandan Daerah Pertempuran.

Sekuen ke- 4 kembali pada peristiwa masa kini yang berkisah tentang rombongan pedagang telah sampai di punggung bukit dan beristirahat. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan di tegalan dan sampai kebun kopi pada pukul lima sore.
 
Munculnya konflik terdapat pada sekuen ke- 5, ketika mereka sampai di jalan besar. Karena peristiwa itulah awal malapetaka yang menimpanya. Pada waktu mereka bersembunyi di rumah kosong, dan Pak Ijan yang mengenal medan mencoba mengintai keadaan, meletuslah bunyi tembakan dari serdadu Belanda yang sedang berpatroli. Pak Ijan tertembak, dan semua ditangkap.

Mereka dibawa ke markas IVG Ambara untuk menjalani pemeriksaan (sekuen ke- 6). Masalah semakin pelik karena Herman dan Toto yang secara fisik berbeda dengan yang lain, menimbulkan kecurigaan tentara Belanda. Keduanya dicurigai sebagai mata-mata republik, atau pejuang yang menyamar. Pada proses pemeriksaan, Herman dan Toto dipisahkan dari rombongannya.

Pada sekuen ke- 7, Herman dan Toto dipindah ke markas IVG Salatiga. Dalam interogasi mereka tidak mengakui jati dirinya sehingga disiksa sejak pagi sampai sore hari, kemudian dijebloskan ke dalam sel. keesokan hari keduanya ditelanjangi, tubuhnya dialiri listrik sampai meraung-raung. Demikian penyiksaan itu berlangsung selama satu minggu.

Selanjutnya Herman dan Toto dipindah ke kamp tawanan yang terletak di penjara umum Salatiga ( sekuen ke- 8), mereka tetap tidak mengakui jati dirinya. Belanda tetap menganggap keduanya sebagai orang yang berbahaya baginya.

Sekuen ke- 9 berisi peristiwa flash back tentang mantan komandan kamp yaitu De Groot, yang sekarang digantikan oleh Koenen. De Groot seorang komandan kejam yang memperlakukan tawanan seperti binatang. Pernah ia menghukum tawanan sampai giginya tanggal hanya karena kurang sempurna dalam membersihkan kamar mandi. Masa lalu De Groot dikomparasikan dengan komandan baru yaitu Koenen yang berbeda sifat dengan pejabat sebelumnya.

Para tawanan dipekerjakan setiap hari seperti budak (sekuen ke- 10). Mereka mengangkut batu dan pasir dari sungai, menumpuknya di tepi jalan, dan memecahinya kecil-kecil. Sebagian yang lain membersihkan ruang dan pekarangan.
 
Selesai bekerja dan makan siang, para tawanan dimasukkan kembali ke dalam sel
(sekuen ke- 11). Herman dan Toto terkejut ketika mereka melihat orang yang selama ini dicarinya, Kapten Kresna. Ternyata Kapten Kresna telah tertangkap lebih dahulu, namun di dalam sel itu ia dikenal sebagai Parman. Rupanya Kapten Kresna berhasil dalam penyamarannya. Parman sebenarnya telah lama mengamati Herman Toto. Kemudian mereka berunding tentang tindakan selanjutnya.
Pada sekuen ke-12 ketika para tawanan bekerja dilapangan, Parman menyampaikan rahasia tentang rencana penyerbuan Belanda ke Markas Besar TNI di Jogja. Parman mendengarnya karena ia bebas keluar masuk rumah Koenen, komandan yang selalu dikalahkannya dalam bermain catur. Herman dan Toto harus melarikan diri untuk melaporkan berita itu.

Peristiwa semakin tegang pada sekuen ke- 13, Parman menjelaskan kepada Herman dan Toto tentang cara melarikan diri, alat yang digunakan, jalan mana yang akan dilaluinya, dan waktu yang tepat untuk melaksanakannya. Parman telah mencuri sebuah tang kecil di rumah Koenen pada saat ia diundang bermain catur.

Konflik terasa meningkat (sekuen ke- 14) ketika rencana pelarian dimajukan. Parman memberitahu Herman dan Toto bahwa mereka harus pergi malam nanti. Siang itu tugas telah dibagi. Herman membawa surat penting yang dimasukkan ke dalam jahitan bagian bawah celananya. Sedangkan Toto bertugas memutuskan kawat-kawat berduri yang melingkupi kamp sebanyak tiga lapis.

Konflik memuncak pada sekuen ke- 15, Herman dan Toto mulai melarikan diri pada pukul satu dini hari. Parman membantu membukakan pintu dengan alat sebuah kawat. Kemudian mereka mengendap-endap menuju ke belakang sambil menghindari sorotan lampu sokle menara yang selalu berputar. Herman dan Toto melewati kamar mandi, dan merapat pelan-pelan ke pagar kawat berduri. Dengan rakus Toto memotong kawat-kawat. Akan tetapi, pada lapisan ke tiga kawat semakin sulit tiputuskan. Pada saat itulah seorang serdadu sorot lampu sokle mengenai tubuh keduanya. Rentetan tembakan menggetarkan kesunyian malam. Toto tertembak mati dan Herman berhasil meloloskan diri dengan surat di jahitan celananya. Herman lenyap ditelan kegelapan dalam kebun kopi. Mendengar suara tembakan itu, Parman merasa tak mampu berdiri lagi.

Sirine tanda bahaya menjerit-jerit (sekuen ke- 16), komandan Koenen membangunkan semua tawanan, membariskannya, dan menghitung jumlahnya. Kurang dua. Setelah dicek, ternyata Herman dan Toto tidak ada. Koenen menghampiri mayat yang tergeletak, membalik tubuhnya, dan sangat terkejut melihat tang miliknya dalam genggaman Toto. Ia ingat Parman, karena hanya dialah yang bebas ke rumahnya. Parman, orang yang sangat dikaguminya ternyata berkhianat.
 
Pada sekuen ke- 17, Koenen kehilangan kepercayaan, kalut, pusing, dan tidak sanggup menahan untuk menarik pelatuk pistolnya. Koenen bunuh diri. Keesokan paginya, ketika ayam jantan berkokok tiga kali, terdengar suara tembakan. Parman dieksekusi oleh kopral serdadu Belanda bernama Boy.
Berdasarkan urutan peristiwanya, novel Pagar Kawat Berduri beralur linier. Peristiwa-peristiwa disusun secara kronologis dari masa lalu ke peristiwa masa depan. Walaupun alur linier tersebut diberi variasi peristiwa-peristiwa flash back, dominasi alur maju tidak terganggu.

4.1.2 Jenis Alur Berdasarkan Tahapan Konflik

Alur novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono disusun atas tahapan-tahapan peristiwa yang mengandung konflik. Tahapan-tahapan konflik tersebut dapat diidentifikasi dalam setiap sekuen yang membentuk kesatuan cerita. Berikut kerangka tahapan alur.

Tahap Paparan

Herman dan Toto, tentara pelajar yang mengemban misi dari markas besar TNI , menyamar di antara para pedagang yang memasuki daerah pendudukan Belanda di Ambarawa.

Tahap Rangsangan

Rombongan pedagang penyelundup yang akan melalui jalan besar tertangkap oleh patroli Belanda, termasuk Herman dan Toto.

Tahap Gawatan

Herman dan Toto dicurigai sebagai mata-mata oleh Serdadu Belanda, sehingga dalam pemeriksaan mereka disiksa karena tidak mengakui jati dirinya.

Tahap Tikaian

Herman dan Toto dijebloskan ke kamp tawanan Salatiga. Bertemu Kapten Kresna (Parman), pemimpin gerakan bawah tanah yang dinyatakan hilang. Mereka merencanakan melarikan diri untuk menyampaikan informasi rencana penyerbuan Belanda ke Markas Besar TNI.

Tahap Rumitan

Herman dan Toto melarikan diri dengan bantuan Parman yang telah mencuri tang di rumah Koenen sebagai alat. Herman membawa surat rahasia dan Toto bertugas memotong pagar kawat berduri berlapis tiga yang melingkungi kamp tawanan.

Tahap Klimaks

Ketika sedang memutuskan kawat lapis ke tiga, mereka tersorot lampu sokle menara penjara, Toto tertembak mati dan Herman yang membawa surat berhasil lolos. Herman lenyap dalam kegelapan kebun kopi.

Tahap Leraian

Tang yang masih tergenggamdi tangan Toto membuat Koenen kehilangan kepercayaan dan sangat kecewa. Parman, tawanan yang amat dipercaya dan dikagumi, ternyata berkhianat dengan mencuri tang miliknya serta mendalangi pelarian itu.. Penyamaran Parman terbongkar. Koenen menembak kepalanya sendiri.

Tahap Selesaian

Keesokan hari, Parman dieksekusi. Ia ditembak mati oleh serdadu Belanda tepat ketika ayam jantan berkokok tiga kali.


Berdasarkan tahapan-tahapan konflik di atas dapat disimpulkan bahwa novel Pagar Kawat Berduri Karya Trisnoyuwono beralur menanjak, yaitu konflik cerita berderap sampai klimaks.

4.2 Keterkaitan antara Alur dengan Penokohan

Keterkaitan antara alur dengan penokohan akan terlihat secara jelas apabila diketahui lebih dahulu deskripsi penokohan. Oleh karena itu sebelum menganalisis keterkaitan antara alur dengan penokohan akan dibahas dahulu deskripsi tokoh-tokoh dalam novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono.
Banyak tokoh yang turut mengemban peristiwa dalam novel Pagar Kawat Berduri, tetapi hanya tokoh-tokoh inti yang akan diidentifikasi penokohannya, yaitu Herman, Toto, Kapten Kresna, dan Komandan Koenen.

a. Deskripsi Tokoh Herman
Herman seorang seorang pejuang yang berpengalaman dalam menjalankan tugas rahasia. Ia sangat loyal kepada bangsa dan negaranya. Dalam menghadapi sesuatu, Herman selalu tenang dan hati-hati. Ia cerdik dan cerdas, serta tabah dalam menghadapi penderitaan. Secara fisik Herman digambarkan dengan tubuh yang tidak begitu tinggi, matanya bagus, serta kulitnya halus dan licin.

b. Deskripsi Tokoh Toto
Toto seorang pejuang yang rela berkorban demi bangsa dan negaranya. Ia berkarib dengan Herman sejak pecah revolusi. Toto sangat pemberani, keras, mudah marah, dan ceroboh. Ia juga tidak sabar dan kurang bisa mengendalikan diri. Secara fisik ia tidak begitu digambarkan oleh pengarang. Hanya dijelaskan bahwa ia masih muda dan warna kulitnya agak hitam. Dalam penyamarannya ia dan Herman mengaku sebagai pelajar yang akan melanjutkan sekolah di Semarang.

c. Kapten Tokoh Kresna
Kapten Kresna, seorang pemimpin gerakan bawah tanah di wilayah Jawa Tengah, yang menyamar sebagai guru SMP bernama Parman. Ia orang yang dicari oleh Belanda karena dianggap berbahaya. Karakternya tenang, sederhana, simpatik, sehingga disegani setiap orang yang mengenalnya. Ia mahir bermain catur, bahkan Koenen, komandan kamp tawanan, selalu dikalahkannya. itulah yang menyebabkan Koenen begitu kagum kepadanya. Ia bebas keluar masuk rumah dinas Koenen walaupun statusnya sebagai tawanan. Sehingga ia berhasil mencuri tang di rumah Koenen sebagai alat pelarian Herman dan Toto. Secara fisik, Parman digambarkan sebagai wujud seorang priyayi. Tubuhnya tinggi, wajahnya tampan, kulitnya kuning, hidungnya mancung, dan matanya bagus. Ia diibaratkan seperti emas. Ia memperoleh simpati dari berbagai kalangan, baik bangsa sendiri maupun bangsa musuh. Ia cerdas, cerdik, dan mempunyai kemampuan luar biasa untuk mengatur dan merencanakan sesuatu.

d. Deskripsi Tokoh Koenen
Koenen seorang komandan kamp berpangkat sersan mayor. Ia sebenarnya mahasisiwa sebuah universitas di Amsterdam, karena adanya peperangan, ia dikirim ke Indonesia. Meskipun musuh, ia baik dan menghargai orang Indonesia, khususnya para tawanan. Ia menjunjung nilai kemanusiaan. Koenen Bahkan memberikan gitar dan harmonika kepada tawanan untuk mengusir rasa sepi. Koenen gemar bermain catur, ia telah menemukan lawan main yang selalu mengalahkannya. Dialah Parman, seorang tawanan yang sebenarnya adalah Kapten Kresna. Koenen sangat kecewa ketika Parman mendalangi pelarian Herman dan Toto. Ia kehilangan kepercayaan kepada manusia, bahkan kepada dirinya sendiri. Ia bunuh diri. Secara fisik Koenen digambarkan sebagai orang yang rapi, bersih, dan mukanya licin, rambutnya selalu disisir rapi.

Alur dalam sebuah karya fiksi tidak akan terwujud tanpa adanya tokoh. Tokoh-tokoh terbutlah yang menggerakkan alur novel Pagar Kawat Berduri. Mulai tahap paparan sampai tahap selesaian tampak jelas peran tokoh dalam menggerakkan alur. Tokoh dengan pemberian karakter tertentu juga mempengaruhi pergerakan dan perkembangan alur yang terjadi. Seperti pada tahap klimaks, pemberian karakter pemberani, nasionalis, dan tabah, meyebabkan terjadinya peristiwa pelarian tokoh Herman dan Toto. Sifat tenang dan hati-hati tokoh herman menyebabkan ia diberi kepercayaan untuk membawa surat rahasia. Dan sifat itu pula yang mengakibatkan ia selamat dan lolos pada saat melarikan diri. Sifat Toto yang pemberani tetapi ceroboh, tidak sabar, dan mudah marah menyebabkan ia gagal dalam pelarian itu dan tertembak mati oleh serdadu Belanda.

Parman dengan sifat yang dimiliki selalu berhasil dalam merencakan sesuatu. Ia berhasil dalam penyamarannya, walaupun tertangkap, ia tidak diketahui jati dirinya. Ia berhasil mencuri informasi rencana penyerangan Belanda ke Markas Besar Tentara. Ia juga berhasil menyusun dan melaksanakan pelarian Herman dan Toto dari tahanan. Bahkan sampai mati ia tetap dikenal sebagai Parman.
Dari bukti-bukti tersebut sudah menunjukkan bahwa alur dan penokohan mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi. Jika penokohan dalam novel Pagar Kawat Berduri diubah, maka akan terjadi perubahan juga pada alurnya. Alur yang tersusun atas rangkaian-rangkaian peristiwa tidak akan berkembang secara dinamis menuju tahapan-tahapan apabila tidak ada seorang tokoh pun yang dihadirkan oleh pengarang di dalam cerita.

4.3 Keterkaitan antara Alur dengan Setting

Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi yang dapat berupa tempat, waktu, maupun suasana. Berikut adalah setting-setting yang dominan dalam novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono.

a. Setting Tempat
Setting tempat dalam novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono, secara umum berupa daerah pertempuran di wilayah Jawa Tengah, khususnya Salatiga, Ambarawa, dan Jogja. Namun, secara spesifik cerita difokuskan dalam kamp tawanan atau penjara yang dilingkungi pagar kawat berduri berlapis tiga dengan penjagaan ketat.

b. Setting Waktu
Secara umum peristiwa dalam novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono terjadi pada tahun 1948, yaitu pada masa Agresi Militer Belanda II. Secara khusu waktu dijelaskan dengan penanda-penanda tertentu, misalnya pagi, siang , sore, setelah jam kantor bubar, pada saat ayam jantan berkokok, dan matahari condong ke barat. Selain itu juga menggunakan keterangan pukul, hari, dan tanggal.

c. Setting Suasana
Setting suasana adalah keadaan yang dirasakan oleh pembaca berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita. Suasana yang mengawali novel ini adalah damai, ketika rombongan pedagang memasuki daerah pendudukan. Suasana digambarkan tenang, dan tenteram pada sore hari ketika matahari sore menyelimuti gunung yang membiru di Ambarawa.
Suasana mulai berubah tegang dan mencekam ketika Herman dan Toto bersama rombongan pedagang tertangkap dan diperiksa. Selanjutnya suasana haru, sepi, bercampur mencekam ketika para tokoh protagonis merencanakan pelarian dari kamp tawanan. Puncak suasana mencekam terjadi pada tahap klimaks, ketika Toto tertembak mati dan Herman lolos membawa surat rahasia. Suasana sedih ketika Koenen bunuh diri dan duka ketika Kapten Kresna dieksekusi mati.
Baik secara fisik maupun psikologis, setting mempengaruhi terciptanya alur dalam novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono. Setiap peristiwa yang terjadi dapat diidentifikasi keberadaan setting, kapan, di mana, dan bagaimana peristiwa itu terjadi. Jawaban pertanyaan tersebut adalah wujud setting yang sesungguhnya. Setting sebuah kamp tawanan memberi citraan yang harmonis dalam perjalanan tokoh-tokoh mengemban alur dalam novel ini. Dimulai dari kehadiran rombongan pedagang yang akan menyelundup, sampai di kamp tawanan pada saat Parman dieksekusi mati, merupakan gambaran jalinan antara alur dengan setting cerita yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain.

4.4 Keterkaitan antara Alur dengan tema

Setelah diidentifikasi alur, penokohan, dan setting, dapat dirumuskan tema novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono, yaitu Perjuangan dan pengorbanan warga negara dalam mempertahankan kemerdekaan. Demi cintanya kepada tanah air, Herman, Toto, dan Parman, serta para pejuang yang lain rela kehilangan harta, benda bahkan nyawa.

Tema tersebut dapat ditelusuri melalui motif-motif yang ada pada setiap rangkaian peristiwa atau alur novel Pagar Kawat Berduri. Selain itu juga dapat ditelusuri melalui kehadiran tokoh dan setting yang mendukungnya.

Berdasarkan tema di atas dapat dirumuskan amanat cerita, antara lain (1) Lebih baik mati dalam peperangan dari pada hidup terjajah; (2) Seburuk-buruk manusia adalah manusia yang berkhianat kepada bangsanya; (3) Berjuang membela bangsa merupakan kewajiban semua orang; dan (4) Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, oleh karena itu perjuangkanlah.

4.5 Keterkaitan antara Alur dengan Latar Belakang Sosial Budaya
Pengarang

Kesatuan novel Pagar Kawat Berduri mendapat pengaruh dari pengaranganya, yaitu Trisnoyuwono. Hal itu dapat diidentifikasi dari persamaan-persamaan atau kecocokan antara perjalanan hidup Trisnoyuwono dengan perjalanan tokoh-tokoh dan peristiwa yang dialami tokoh cerita. Bahkan kehidupan Trisnoyuwono sebagai tentara dalam revolusi kemerdekaan antara tahun 1948-1949 secara jelas tercermin dalam peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh. Meskipun demikian novel Pagar Kawat Berduri bukanlah suatu kisah nyata murni dari seorang tentara bernama Trisnoyuwono. Namun kisah hidup pengarang telah menjadi inspirasi atas terciptanya novel ini.Tidak hanya mewarnai alur, kisah pengarang juga tampak pada setting, karakter para tokohnya, bahkan pada tema cerita.

Namun, pada bagian akhir cerita rupanya hanya merupakan hasil imajinasi Trisnoyuwono karena peristiwa-peristiwa di akhir cerita sama sekali tidak pernah dialami Trisnoyuwono. Seperti tertembaknya Toto ketika melarikan diri dari kamp tawanan. Peristiwa terbongkarnya penyamaran Parman. Dan tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh Koenen. Serta peristiwa eksekusi mati Parman oleh Kopral Boy. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa alur novel Pagar Kawat Berduri memiliki keterkaitan yang erat dengan pengarangnya, baik ia sebagai tentara,sebagai orang Jawa, maupun sebagai pemeluk Islam.


V. PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan deskripsi hasil analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono, dapat dirumuskan simpulan sebagai berikut.

1. Alur novel Pagar Kawat Berduri (1) berdasarkan urutan waktu berjenis alur linier dengan
variasi sorot balik; (2) berdasarkan tahapan konfliknya, novel Pagar Kawat Berduri
beralur menanjak.

2. Alur novel Pagar Kawat Berduri memiliki keterkaitan yang erat dengan unsur intrinsik dan
ekstrinsik, antara lain: penokohan, setting, tema, dan latar belakang sosial budaya pengarang.

3. Kesatuan novel Pagar Kawat Berduri mengangkat tema perjuangan dan pengorbanan
mempertahankan kedaulatan negara.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Pagar Kawat Berduri karya Trisnoyuwono, penulis menyampaikan beberapa saran sebagai berikut.

1. Bagi guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

Hendaknya mengarahkan siswa dalam pembelajaran apresiasi sastra ke arah cara kerja
struktural genetik, yang memandang karya sastra memiliki korelasi yang erat dengan unsur
ekstrinsik. Dan tidak memandang karya sastra sebagai suatu yang otonom.

2. Bagi pengkaji selanjutnya

Kajian ini belum menyentuh aspek psikologi dan sosiologi secara luas, sehingga dapat
dijadikan objek kajian berikutnya dengan cakupan ranah kajian yang lebih luas.

04 Juni 2009

Sahabat

Sahabat, demikian saya menamai seseorang yang bersekutu dengan kita. Sahabat adalah anugerah, yang mau menjadi pendengar ketika kita bicara, yang dapat menasihati ketika kita alpha, yang menyemangati ketika kita lemah atau putus asa, yang rela membantu ketika kita membutuhkan, dan yang bisa menghibur ketika kita lara. Sahabat merupakan sosok yang dibutuhkan ketika ingin bertukar pikiran atau meminta pertimbangan.

Sahabat juga amanah, yang harus kita jaga perasaannya, yang harus kita atur interaksinya, dan yang harus kita pertahankan kelestariannya. Karena interaksi persahabatan ada kalanya tidak seperti yang kita harapkan. Bahasa, baik secara verbal mapun gesture berpotensi untuk mencederai persahabatan. Kadang menurut kita benar namun baginya hati telah tersakiti.

Apa yang kita pikirkan dan yang kita harapkan dari para sahabat harus ditanam juga di dalam diri sehingga kita pun dapat menjadi sahabat bagi orang lain. Ibarat simbiosis mutualisme, persahabatan hendaknya saling menguntungkan baik secara fisik maupun psikis dengan dasar ikhlas. Seorang sahabat dapat melakukan “psikoterapi” baik dengan sengaja maupun tanpa sengaja atas “penderitaan” orang lain melalui motivasi, sugesti, nasihat, hiburan, atau hal lain dengan berbagai metode.

Hari ini saya berpikir tentang seorang sahabat yang sedang berulang tahun. Sahabat yang memiliki kelembutan hati, penyayang, penuh empati, “good listener”, dan berani memberikan umpan balik sebagai koreksi dan evaluasi. Khususnya untuk topik-topik tertentu yang hanya padanya saya mendapatkan pencerahan. Fungsi sahabat tidak hanya membuat senang, dia terkadang membuat saya menangis. Menangisi kekonyolan dan kefatalan perbuatan serta kata-kata. Saya merasa sangat bersyukur memiliki sahabat seperti dia.

Saya selalu belajar dari sahabat saya tersebut meski dalam momen yang singkat sekalipun. Banyak hikmah saya peroleh dari intrik-intrik kosa kata yang terlontar dan mengimbas lebih banyak kepada saya, seperti sinar yang ditembakkan ke sisi cermin cembung dan menghasilkan sudut pembiasan lebih besar. Dalam proses pembelajaran tersebut, saya sampaikan pernyataan yang benar dan saya sampaikan pula pernyataan yang salah untuk memetik buah pikiran yang mungkin dalam “persembunyian”. Dari situlah saya dapatkan pelajaran tentang hidup dan kehidupan: tentang pentingnya harapan, kebenaran, kejujuran, ketaatan, komitmen, kepatuhan, kesetiaan, konsistensi, keberanian, etika, bahkan tentang bahasa.

Hasil Diskusi

"a friend in need is a friend indeed...?"

Tidak. Kita dan sahabat tidak seperti Boss dan bodyguard.
Masing-masing mempunyai ruang dan waktu tersendiri, kadang "dekat" dan kadang "jauh" (dekat dan jauhnya sahabat tidak selamanya bersifat fisik). Kita dan sahabat tidak harus ada komitmen, kepedulian dan apa pun yang dilakukan sahabat mengalir secara ikhlas seperti aliran sungai.
Sahabat boleh datang dan boleh juga pergi (kita tidak punya hak atas kemerdekaan sahabat). Namun, dengan datang dan perginya sahabat, seseorang bisa "menyerap/mendapatkan" sesuatu tanpa "harus" disadari oleh sahabat. (sahabat sering tidak menyadari bahwa dia telah memberikan "sesuatu" atau "berjasa" bagi orang lain).

"persahabatan bukanlah bisnis"

Aku setuju (berarti tidak ada untung rugi kan???) Namun, tidak semua orang tahu bahwa keuntungan yang didapat dalam persahabatan TIDAK SELALU "disengaja" atau "disadari". Dan tidak semua sahabat dapat "mengambil/mencuri" keuntungan dalam interaksinya. Demikian juga dengan kerugian. Sahabat terbentuk dari "pergulatan" yang serasi. Namun, sahabat tidak lah abadi, adakalanya pergi atau menghianati.

Namun, masih ada satu mata kuliah tentang “komitmen dan keputusan” yang belum saya peroleh simpulan dari diskusi berikut:”

”Bagaimana jika komitmen itu pada suatu saat nanti tak lagi ditepati?”
”Mungkin aku akan berpikir tentang ‘sesuatu’ yang pernah ditanyakan oleh seorang kawan.”

Jawaban saya ibarat umpan yang terpasang di mata kail, namun tak seekor ikan pun terjebak. Saya menginginkan tanggapan atas jawaban tersebut (sebenarnya pernyataan jawaban itu bukan representasi hati saya karena apa pun yang terjadi, keputusan saya adalah “so must go on”). Dan…sampai “acara mancing” berakhir, tak seekor ikan pun saya dapatkan.

(Karena menggunakan metafor ikan, saya tiba-tiba teringat kisah Nabi Musa as dan Nabi Khidir as, terutama tentang ikan tangkapan yang melompat ke laut. Sepintas sepertinya ada hal yang hilang, tetapi sesungguhnya justru menemukan sesuatu. Karena ikan tersebut menghilang di tempat Nabi Khidir as berada, seorang “guru” yang sedang dicari oleh Nabi Musa as, dan keduanya pun bertemu (Al kahfi: 61-66).

Kisah ikan tersebut saya tulis sebagai hadiah ulang tahun kepada sahabat saya.
Selamat Ulang Tahun, Sahabat....
Semoga Anda sekeluarga selalu dalam rahmat Allah swt.

18 Mei 2009

"I Love You Just The Way You Are"

Saya tertarik dengan kiriman seorang kawan di Milis Sarikata yang mengutip tulisan Clara Moningka dengan gaya "saya":

Saya sangat terharu ketika datang menghadiri perayaan hari ulang
tahun pernikahan ke-60 seorang kenalan. Betapa bahagianya pasangan
yang merayakan. Mereka duduk berdampingan sambil bergandengan
tangan. Senyum menghiasi wajah keduanya. Seorang rekan yang hadir
bertanya "Apakah kita bisa seperti mereka, punya cinta yang tak
tergerus waktu?"

Seiring dengan perkembangan zaman, pernikahan sebagai suatu ikatan
sakral antarmanusia mulai dipertanyakan. Perselingkuhan menjadi hal
yang biasa dilakukan. Perceraian pun lazim kita dengar dan kita
tanggapi secara biasa pula. Kesetiaan menjadi kata yang sulit
dilaksanakan. Sampai di manakah batas kesetiaan manusia? Akankah
cinta yang tadinya ada menjadi tiada? Apakah benar kita dapat
mencintai seseorang untuk selama-lamanya? Di saat susah, di kala
senang, sampai ajal memisahkan? Bagaimana mewujudkan cinta seperti
itu?

Saat saya berkumpul dengan beberapa orang teman, kami berbincang-
bincang mengenai makna kesetiaan dan hakikat pernikahan. Maklum,
beberapa di antara kita akan melangkah ke jenjang pernikahan.
Pernikahan menjadi topik seru yang diperbincangkan mulai dari
persiapan, pesta, hingga calon pasangan. Soal pasangan masing-masing
adalah hal paling menarik dibahas. Sampai di mana kita merasa cocok
dengan pasangan kita? Seorang teman mengisahkan pengalaman rekan di
kantornya yang membatalkan pernikahan meskipun waktu tinggal sebulan
lagi. Kami semua terkaget-kaget karena persiapan sudah sedemikian
mantap. Gedung tempat pesta sudah dibayar, foto prewedding sudah
kelar, undangan hampir disebar. Apa yang terjadi? Ternyata sang pria
merasa tidak siap untuk menikah dan merasa tidak cocok dengan sang
wanita. Padahal pasangan itu berpacaran lebih dari lima tahun.

Menyatukan dua orang dengan latar belakang yang berbeda, bahkan
sangat berbeda, bukanlah hal yang mudah. Budaya, pola asuh,
pendidikan, dan lingkungan keluarga serta pergaulan sangat
mempengaruhi perilaku seseorang dan kecocokannya dengan orang lain.
Terkadang yang kita anggap cocok saat ini, belum tentu cocok nanti.
Seiring dengan perjalanan waktu, kita tidak hanya melihat persamaan,
namun juga melihat perbedaan. Kemudian sampai di mana kita mampu
mengelola perbedaan tersebut menjadi sesuatu yang indah, di mana
yang satu dapat melengkapi yang lain? Bila kedua belah pihak tidak
dapat menerima perbedaan yang ada, atau malah hanya berdiam diri dan
menyimpan dalam hati tanpa membicarakannya, akan muncul masalah
dalam hubungan tanpa mereka sendiri.

Seringkali orang mencari pasangan berdasarkan penampilan fisik atau
materi semata. Padahal standar fisik (cantik, langsing, ganteng,
kekar) atau materi bersifat subjektif. Memang kadang hal tersebut
dapat membuat kita bahagia namun di mana esensi cinta?

Robert Sternberg, seorang psikolog mengemukakan konsepsi mengenai
cinta. Ia mengilustrasikan cinta dalam bentuk segitiga.

Cinta yang penuh atau lengkap adalah cinta yang disebut consummate
love, yakni kombinasi dari adanya keintiman (intimacy), hasrat
(passion), dan komitmen (commitment) . Cinta tanpa komitmen tidak
menunjukkan adanya kesetiaan dan saling mengasihi yang mendalam.
Cinta tersebut hanya karena nafsu, membara namun pada akhirnya
berpaling ketika ada objek cinta yang lain. Komitmen menandakan
adanya penerimaan antara yang satu dengan yang lain dan menjadikan
cinta sebagai sesuatu yang suci di antara mereka.

Di lain pihak, cinta tanpa hasrat merupakan cinta yang hampa.
Komitmen saja, misalnya karena terpaksa menikah karena pilihan orang
tua atau karena berhutang budi tanpa memiliki hasrat, menyebabkan
ikatan karena keharusan, bukan karena kerelaan. Baik, bila pada
akhirnya cinta dapat tercipta. Bila tidak, hubungan terasa hampa.

Cinta yang timbul karena komitmen dan hasrat semata, tanpa mau
mengenal pasangan lebih dalam dan berusaha memahami serta membangun
keintiman yang lebih dalam adalah cinta yang kekanak-kanakan.
Seperti cinta monyet. Esensi cinta juga sulit ditemukan dalam cinta
semacam ini. Masalah dapat timbul dan cinta dapat hilang begitu
saja.

Bila kita mampu membangun komitmen, mengenal pasangan kita lebih
jauh, memahami dirinya sebagai pribadi yang unik dan kita cintai,
memiliki hasrat untuk bersamanya, maka kita akan mendapatkan cinta
seutuhnya. Tidak mudah memang. Namun, belajar untuk menerima, saling
membangun satu sama lain, dan menyadari bahwa cinta saya adalah pada
pribadi ini dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah cinta
yang sebenarnya.

Pada dasarnya, mewujudkan hal tersebut tidak semudah ketika saya
menuliskannya. Seperti telah diungkapkan di atas, menyatukan segala
perbedaan bukan hal yang mudah. Berusaha untuk menerima dengan
lapang dada, tidaklah mudah. Tetapi pasangan seperti apakah yang
kita cari? Sampai kapan kita akan menemukan pasangan yang sempurna?
Jawabannya tidak akan pernah ada kecuali kita sendiri yang
menciptakan kesempurnaan itu. Cinta yang timbul dari hati, dari
kejujuran dan ketulusan, love actually alias I love you just the way
you are. Hal tersebut pada akhirnya akan membantu kedua belah pihak
menyelesaikan masalah yang ada. Toh kita tidak akan tetap muda dan
terus mencari dan mencari. Suatu hari kita akan merasakan kerinduan
untuk berbagi dengan orang yang penting dalam hidup kita, ingin
menggenapkan tugas perkembangan kita yaitu membangun keluarga.

Pada saatnya nanti, pernikahan bukanlah permainan, bukan hanya
sekadar pesta, namun merupakan janji suci dua insan. Apakah akan
berakhir dengan kesedihan karena sikap egois dan seenaknya sendiri
atau berakhir bahagia hingga akhir waktu kita sendiri yang dapat
menentukan.