04 Juni 2009

Sahabat

Sahabat, demikian saya menamai seseorang yang bersekutu dengan kita. Sahabat adalah anugerah, yang mau menjadi pendengar ketika kita bicara, yang dapat menasihati ketika kita alpha, yang menyemangati ketika kita lemah atau putus asa, yang rela membantu ketika kita membutuhkan, dan yang bisa menghibur ketika kita lara. Sahabat merupakan sosok yang dibutuhkan ketika ingin bertukar pikiran atau meminta pertimbangan.

Sahabat juga amanah, yang harus kita jaga perasaannya, yang harus kita atur interaksinya, dan yang harus kita pertahankan kelestariannya. Karena interaksi persahabatan ada kalanya tidak seperti yang kita harapkan. Bahasa, baik secara verbal mapun gesture berpotensi untuk mencederai persahabatan. Kadang menurut kita benar namun baginya hati telah tersakiti.

Apa yang kita pikirkan dan yang kita harapkan dari para sahabat harus ditanam juga di dalam diri sehingga kita pun dapat menjadi sahabat bagi orang lain. Ibarat simbiosis mutualisme, persahabatan hendaknya saling menguntungkan baik secara fisik maupun psikis dengan dasar ikhlas. Seorang sahabat dapat melakukan “psikoterapi” baik dengan sengaja maupun tanpa sengaja atas “penderitaan” orang lain melalui motivasi, sugesti, nasihat, hiburan, atau hal lain dengan berbagai metode.

Hari ini saya berpikir tentang seorang sahabat yang sedang berulang tahun. Sahabat yang memiliki kelembutan hati, penyayang, penuh empati, “good listener”, dan berani memberikan umpan balik sebagai koreksi dan evaluasi. Khususnya untuk topik-topik tertentu yang hanya padanya saya mendapatkan pencerahan. Fungsi sahabat tidak hanya membuat senang, dia terkadang membuat saya menangis. Menangisi kekonyolan dan kefatalan perbuatan serta kata-kata. Saya merasa sangat bersyukur memiliki sahabat seperti dia.

Saya selalu belajar dari sahabat saya tersebut meski dalam momen yang singkat sekalipun. Banyak hikmah saya peroleh dari intrik-intrik kosa kata yang terlontar dan mengimbas lebih banyak kepada saya, seperti sinar yang ditembakkan ke sisi cermin cembung dan menghasilkan sudut pembiasan lebih besar. Dalam proses pembelajaran tersebut, saya sampaikan pernyataan yang benar dan saya sampaikan pula pernyataan yang salah untuk memetik buah pikiran yang mungkin dalam “persembunyian”. Dari situlah saya dapatkan pelajaran tentang hidup dan kehidupan: tentang pentingnya harapan, kebenaran, kejujuran, ketaatan, komitmen, kepatuhan, kesetiaan, konsistensi, keberanian, etika, bahkan tentang bahasa.

Hasil Diskusi

"a friend in need is a friend indeed...?"

Tidak. Kita dan sahabat tidak seperti Boss dan bodyguard.
Masing-masing mempunyai ruang dan waktu tersendiri, kadang "dekat" dan kadang "jauh" (dekat dan jauhnya sahabat tidak selamanya bersifat fisik). Kita dan sahabat tidak harus ada komitmen, kepedulian dan apa pun yang dilakukan sahabat mengalir secara ikhlas seperti aliran sungai.
Sahabat boleh datang dan boleh juga pergi (kita tidak punya hak atas kemerdekaan sahabat). Namun, dengan datang dan perginya sahabat, seseorang bisa "menyerap/mendapatkan" sesuatu tanpa "harus" disadari oleh sahabat. (sahabat sering tidak menyadari bahwa dia telah memberikan "sesuatu" atau "berjasa" bagi orang lain).

"persahabatan bukanlah bisnis"

Aku setuju (berarti tidak ada untung rugi kan???) Namun, tidak semua orang tahu bahwa keuntungan yang didapat dalam persahabatan TIDAK SELALU "disengaja" atau "disadari". Dan tidak semua sahabat dapat "mengambil/mencuri" keuntungan dalam interaksinya. Demikian juga dengan kerugian. Sahabat terbentuk dari "pergulatan" yang serasi. Namun, sahabat tidak lah abadi, adakalanya pergi atau menghianati.

Namun, masih ada satu mata kuliah tentang “komitmen dan keputusan” yang belum saya peroleh simpulan dari diskusi berikut:”

”Bagaimana jika komitmen itu pada suatu saat nanti tak lagi ditepati?”
”Mungkin aku akan berpikir tentang ‘sesuatu’ yang pernah ditanyakan oleh seorang kawan.”

Jawaban saya ibarat umpan yang terpasang di mata kail, namun tak seekor ikan pun terjebak. Saya menginginkan tanggapan atas jawaban tersebut (sebenarnya pernyataan jawaban itu bukan representasi hati saya karena apa pun yang terjadi, keputusan saya adalah “so must go on”). Dan…sampai “acara mancing” berakhir, tak seekor ikan pun saya dapatkan.

(Karena menggunakan metafor ikan, saya tiba-tiba teringat kisah Nabi Musa as dan Nabi Khidir as, terutama tentang ikan tangkapan yang melompat ke laut. Sepintas sepertinya ada hal yang hilang, tetapi sesungguhnya justru menemukan sesuatu. Karena ikan tersebut menghilang di tempat Nabi Khidir as berada, seorang “guru” yang sedang dicari oleh Nabi Musa as, dan keduanya pun bertemu (Al kahfi: 61-66).

Kisah ikan tersebut saya tulis sebagai hadiah ulang tahun kepada sahabat saya.
Selamat Ulang Tahun, Sahabat....
Semoga Anda sekeluarga selalu dalam rahmat Allah swt.